Kita adalah makhluk kenangan: menyusun ingatan demi ingatan menjadi lembaran momentum yang kiranya layak untuk dibuka di suatu waktu yang lain, di masa depan.
Perempuan itu yang kelak menjadi cahaya senja di sore hari, menunjukkan kepada kita bahwa tidak semua yang indah dan menakjubkan perlu diberi tepuk tangan.
Catatan-catatan itu, aku kumpulkan dari setiap luka yang mengering dan kubiarkan terbuka. Kelak agar aku ingat, bahwa takut jatuh sudah lagi bukan waktunya.
Setiap perjalanan, kelak, akan menemui ujungnya juga. Begitupun dengan setiap pertemuan, tak akan lengkap bila tanpa perpisahan. Ini bukan soal kesedihan, ini soal keutuhan diri.
Tidak peduli seberapa banyak kita membenci kehidupan dan dunia ini, pada akhirnya pun, besok, setiap hari di pagi hari, kita akan lekas mencintainya lagi.
Rindu terbentang untuk membuat kita bersabar, bahwa pertemuan adalah waktu yang tepat untuk perjuangan yang sama besar.
Siapapun yang hendak pulang, tunggu sebentar, ada titipan. Ini.
Seluruh kenangan itu bebal. Usaha melupakan justru menjadi cara mengingat dengan bentuk lain. Letakkan seluruh ingatan itu, perlahan-lahan.
Banyak sekali maaf-maaf yang dengan mudah manusia berikan, tapi kondisi batin masih saja tak sepenuhnya mengikhlaskan. Kita akan duduk bersama, belajar memaafkan hal-hal yang tak termaafkan, di fakultas pemaafan.
Setiap manusia memiliki kecenderungan. Cenderung ingin, berharap, dan meminta apapun yang dirasa membuat nyaman. Tapi tanpa keseimbangan, semua itu menjadi tiada arti.