Voicemail of any thoughts
Kali ini beda, kali ini puisi. Bukan tentang aku, meskipun dari anganku. Pluralisme katanya, tapi tanpa romansa apa artinya? Aku. Lepas Wahai, seonggok hati sepi di sana Bagaimana rasamu, apakah masih sama? Lucu bagaimana sepi tak ingin tetap sama tapi berbeda buatmu lepaskan singgasana Sempat ku menari di atas kicauan desir angin Nyatanya decit ragumu membentang menggerayangi setiapku, merisak bulir pasir ekspektasi yang meninggi Renjanamu meluruskan setiap ikalku agar berhenti bermimpi Putihnya kertas tertawa geli Karna cacat yang pernah membawaku tinggi terus menggerogotinya yang perlahan lesap Selamat tinggal kertas, setidaknya pergilah tanpa asap Tersungkur kembali aku terhadapkan nyatanya nadi kencang bergemuruh Mengapa kepal tanganku tak mampu kau raih? Padahal telah kubunuh tinggi hatiku dan bersujud di hadapmu dan yang kau sebut tuhan mu Apakah harus pungguk menjadi bulan ‘tuk meraihnya? Rambutku tak mampu lagi menangkap geram di mana tanganmu untuk kugenggam? Jelaga telah padam setelah sekian lama ia membara dan beraninya masih kau semburkan dingin ketika tenun asaku terlepas dari jantra begitu saja Tutup deraimu, lepas ikatku, dan tolong beranjaklah
Lucu bagaimana kita bisa begitu akrab dengan gelap hingga terganggu ketika terang mengintip.
Kadang heran, orang lain bisa lihat kelebihan dan sisi baik dari kita dan justru kita sendiri yang kurang bisa mengapresiasi diri. Ingin bertukar sudut pandang, benarkah ada cahaya itu dalam diriku?
Kita memiliki selimut yang selalu ada untuk melewati gelapnya malam, aku kehilangan itu.
Ada banyak topeng untuk menyenbunyikan diri kita, kali ini penuh warna