Podcast berisi aneka macam cerita dari & di kota New York lewat kacamata seorang Indonesia. Kontak: podcastfitrimohan@gmail.com
Bagaimana seharusnya pandemi membuat kita memahami alam lingkungan di sekitar kita? Praktek-praktek apa saja yang terjadi selama ini yang membuat bumi yang kita pijak menjadi seperti sekarang? Apa yang sebaiknya kita sadari dan lakukan untuk keadaan bumi yang lebih baik? Beberapa pertanyaan ini jadi sebagian obrolan saya dengan aktivis lingkungan, Mai Jebing, di episode yang dibuat untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Pandemi membuat semua kegiatan yang dilakukan secara fisik di luar rumah lalu berpindah tempat ke lokasi online. Semua bentuk komunikasi karena perubahan ini mengharuskan kita semua untuk mahir dalam berkorespondensi. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan membaca dan menulis, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Hal-hal ini tampak sepele tapi rupanya penting. Bagaimana mengantisipasi dampak pandemi pada cara kita berkomunikasi terutama karena sekarang semua serba online dan terlebih-lebih lagi serba di-sosial media-kan? Segala printilan - dari masalah literasi, problem dalam korespondensi, sampai etos kerja di masa pandemi - diobrolkan di sini. Narasumber podcast episode ini adalah seorang education specialist yang pernah lama menjadi guru dan juga seorang penulis, Devina Mariskova.
Setahun lebih melewati pandemi, ada banyak hal yang terkena dampaknya. Jika bicara tentang kesehatan saja, selain fisik, mental pun juga sangat rentan mengalami gangguan, dari yang kecil sampai besar. Edisi podcast Fitri Mohan kali ini membahas tentang kesehatan mental di masa pandemi bersama seorang psikolog dan dosen psikologi dari Universitas Indonesia, Mellia Christia, M.Si., M.Phil.
Pada Januari 2021 lalu, ada kasus viral tentang pemaksaan memakai kerudung di sebuah sekolah negeri di Padang. Kasus ini memantik keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) yang berisi pernyataan bahwa pemerintah daerah maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama. Saya mewawancarai Profesor Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, ulama, aktivis dan intelektual muslim tentang SKB 3 Menteri yang latar belakangnya sebetulnya adalah sebuah puncak dari gunung es.
Di episode ini, Profesor Zubairi Djoerban (Ketua Dewan Pertimbangan PB IDI sekaligus Ketua Satgas Covid-19 PB IDI) membagi data-data terbaru tentang Covid 19 dan vaksinasi. Apa pencegahan paling efektif? Apa solusi kalau kita tidak bisa bekerja dari rumah? Kalau mengalami alergi setelah divaksin pertama, apa boleh vaksinasi ke-2? Kenapa ada yang habis divaksinasi lalu malah terinfeksi? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sering terlontar soal Covid 19 dan vaksinasi ini dijawab oleh Profesor Beri di edisi ini. Selain itu, beliau juga memberi tips hidup sehat di masa pandemi.
Di episode kali ini, Muhammad Nur Rizal dan Novi Poespita Candra membagi cerita mereka tentang gerakan sosial yang mereka bangun yaitu Gerakan Sekolah Menyenangkan atau GSM. Di masa pandemi, sekolah-sekolah GSM mendapatkan momentumnya, mampu bergerak dan membuat para murid terus senang bersekolah. Kenapa bisa demikian? Obrolan saya dengan mereka berdua mengetengahkan banyak hal, termasuk tentang "Lost Generation" dan tantangan dunia pendidikan di Indonesia.
Tahun pandemi ini punya jejaknya yang saya catat via podcast di akhir tahun 2020.
Setelah sekian lama tidak pernah tertarik menonton drama Korea (drakor), akhirnya di tahun 2020 saya jadi penonton drakor :)
Cerita sebuah pernikahan yang terlaksana di masa pandemi.
Podcast kelima ini tentang sebuah akhir September yang dulu punya ritual tahunan dengan dampak panjang yang bisa dirasakan sampai sekarang.
Bagaimana menjadi Indonesia menurut saya: sebuah ucapan selamat ulang tahun untuk Indonesia yang ke 74.
Edisi ketiga ini ada hubungannya dengan si pengusaha kaya raya yang sekarang sedang jadi kepala negara Amerika dan salah satu pendukungnya yang adalah teman saya.
Aksen biasanya mengundang rasa ingin tahu, tapi ada juga yang membuatnya sebagai lelucon. Haruskah kita menghilangkan aksen?