rumah yang diacak-acak dan dirapikan kembali dengan sembunyi-sembunyi.
Ia pandangi banyak kaki yang coba terus berjalan. Tapi ia juga tahu apa yang wajah-wajah itu coba sembunyikan.
kota yang ingin kau asing kan dalam kepalamu itu, adalah kota yang ingin aku masuki. aku tahu kau akan berjalan sendirian di sana, gemetar menyembunyikan diri sendiri.
ia hanya bernyanyi, meminta tenang itu sekali lagi.
"Awan yang berarak itu,..." katamu suatu pagi. "... bukanlah kumpulan buih laut yang tak berarti."
Aku mengetuk pintu rumah tua di keningmu. Serangga bersayap reyot menggerogoti setiap kayu.
Aku mesti pergi, aku merasa kesepian setiap kali dia memelukku.
Sum, cemasku serupa angin yang tak sengaja meniup daun dan membuatnya luruh dari dahannya.
Apa yang sebenarnya hilang, jika memiliki saja tidak pernah? Apa yang dilepas sedang menggenggam saja tidak?
Aku ingin malam semakin redup, agar perasaan-perasaan padamu kian hidup.
Beberapa hari ini, mungkin saja kau baru mengerti. Ternyata rasanya menyenangkan jika ada yang menunggumu pulang.
Kau selalu paham hanya mata jendela yang mengerti perasaanmu. Jendela selalu mahir perihal menanti. diam-diam menatap seseorang pergi. Dan selalu menantinya kembali, meski yang dituju lagi-lagi hanya pintu.