Kebisingan serbuk kecil dalam sunyi, pada dua lebih satu pagi, oleh @pratamasyahalam
Mereka hangat, dekat, mendekap, dan masih beraroma kita
Ketika jari-jari bunga terbuka mendadak terasa: betapa sengit cinta Kita
Apakah kau di sana? Apakah kau ada? Apakah kau?
Kita tak pernah menanam apa-apa, kita tak pernah kehilangan apa-apa
Siapa lagi menjemputmu berangkat berduka
Dia meninggalkanmu agar bisa mengingatmu
Kudekap ia bagai kudekap hidup dan matiku
Kau, Penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?
Manisku jauh di pulau, kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Aku adalah wangi bungamu, ljka berdarah-darah durimu, semilir sampai badai anginmu
Tuhan datang malam ini di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus dan celoteh sepi
Sebelum sungguh menjadi sadar, bahwa sudah terlanjur terlantar
Aku tak pernah membenci apapun sebesar aku mencintai matamu
Turun terus. Sepi. Datar- lebar- tidak bertepi
Nanti, jika musim hujan tiba, langit akan memandikan gadis kecil itu dengan air matanya
Tak bisa kulupakan meski ditikam dalam-dalam
Sejak hari itu, aku tidak bisa tidur lagi. Juga kau dan kesepian barangkali.
Kita tak membawa apa-apa. Kita tak membawa kemenyan ataupun bunga, kecuali seberkas rencana-rencana kecil (yang senantiasa tertunda-tunda) untuk kita sombongkan kepada mereka.
Menunggu wajahmu tertawa sekali lagi, mungkin kepada masa depan yang lain
Wahai, betapa remang-remangnya jalan panjang di hatiku
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung
Kita terdiam saja di pintu; menunggu atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu
Aku tidak ingin mendengar kabar pemakamanmu.
Pesan berakhir. Musik. Telepon genggam menyanyikan The Beatles: Mother
Kini, saat ini kau dan aku adalah orang-orang asing, terkucil dari alam.
Perasaanku sungguh ingin basah oleh air matanya
Karena kau tidak ‘kan apa-apa. Aku terpanggang tinggal rangka
Semeseta serupa yang kita huni kini, tetapi aku tidak pernah ada di sana.
Kita berdua adalah lava yang tak bisa lagi diuraikan.
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia.
Sepasang tangannya terentang. Selalu mencintai pisau dan api dapur.
Perempuan mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan, ke landasan cakrawala
Kelak kau pasti akan kembali menemukannya, di sela-sela kenangan penuh ilalang
Mengerikan dan menantang. Aku, untuk pertama kali, kau pahami.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Engkau bulan lelap tidur di hatiku, oleh sepi diriku dirampas jalan raya
Perlukah, Manis, kuoleskan darah pada bibirmu yang skeptis agar semua yang mendambamu sangsai
Aku bukan lagi ai cilik tidak tahu jalan di hadapan berpuluh lorong dan gang menimbang
Cinta yang tinggal berupa bunga kertas dan lintasan angka-angka
Sebagian kuciptakan jadi kata-kata yang cuma mencintai mulutmu dan telingaku
Tungkai kakiku sepasang pohon. Berdiri di kiri dan kanan jalan bersemak. Rerimbunan yang akan mengembalikanmu ke rahim ibu.
Kau nyala langit yang biru pada pangkal April dan awan yang menolak warna selain putih
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Jika kau ingin mengucapkan selamat tinggal, lakukan seperti matahari terbenam
Dua mata hiram adalah rumah yang temaram, secangkir kopi sore hari dan kenangan yang terpendam.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan dan perempuan itu tidak mencintai keduanya.