Kesetaraan gender memang tidak selalu berhubungan dengan perempuan. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pihak yang paling banyak dirugikan dari ketidaksetaraan adalah perempuan. Ada beberapa masalah utama yang menghalangi terwujudnya kesetaraan gender, yaitu keterbatasan akses perempuan…
Seseorang yang dianggap “menarik” menurut standar masyarakat, akan diperlakukan secara “istimewa” dengan lingkungannya. Mulai dari kemudahan menggapai mimpi maupun karier, dimaklumi jika bersalah, dan tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan kesempatan. Perlakuan “istimewa” inilah yang menjadi masalah karena menimbulkan diskriminasi, terlebih kepada mereka yang dianggap "tidak rupawan" oleh masyarakat.
Keputusan untuk tidak mempunyai anak bukanlah keputusan yang mudah. Wacana tentang memiliki anak seharusnya tidak dijadikan patokan dalam pernikahan. Sebab, pada hakikatnya, tujuan utama pernikahanan itu adalah untuk mendapat rasa tentram dan saling berkasih sayang, terlepas apakah pasangan tersebut memiliki anak atau tidak.
Entah sejak kapan, usia 25 tahun sering jadi momok yang "menakutkan" bagi perempuan. Lebih-lebih menjadi perempuan lajang karena sudah pasti ditanya melulu soal jodoh dan pernikahan. Meski pada faktanya banyak perempuan menunda pernikahan karena beberapa alasan, tapi tetap saja ada perasaan was-was. Ditambah lagi perkembangan sosial media yang kian masif, membuat beberapa orang mengalami insecure, tidak percaya diri hingga mulai mempertanyakan tujuan hidupnya. Simak curhatan kami bersama Kak Arintya dari Galaw Bermanfaat di Equality episode 26!
Para penggemar K-pop alias Kpopers sering kali dianggap sebagai sekelompok individu yang apolitis, fanatik, histeris, dan terlalu menuhankan idolanya. Tidak jarang para penggemar Kpop ini, terutama karena banyak dari mereka adalah perempuan, dilihat sebagai orang-orang bodoh yang tidak tahu apa-apa karena hidup mereka hanya didedikasikan untuk menggilai idola mereka. Entah karena stigma tercipta karena ulah oknum pelakunya atau memang stigma sengaja diciptakan demikian, nyatanya kelompok perempuan penggemar Kpop masih kerap terpinggirkan dan dikucilkan dalam pergaulan. Di media sosial, kelompok perempuan penggemar sering dijadikan bahan olok-olokan atau bahkan perundungan oleh para netizen hanya karena kesukaan mereka. Terlepas dari stigma yang melekat dalam diri Kpopers, kita juga harus mengakui bahwa mereka adalah kekuatan baru yang dapat membawa pengaruh positif bagi kehidupan bermasyarakat.
Bagi sebagian orang, keluarga tidak selalu menjadi harta yang paling berharga. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung nan nyaman, justru malah menjadi sumber tekanan mental yang melelahkan bahkan memuakkan. Tidak berfungsinya peran keluarga ini, salah satunya, dipicu oleh perilaku orang tua yang toxic. Akibatnya, anak jadi mengalami berbagai masalah dalam perkembangannya. Sayangnya, masih banyak orang tua yang beranggapan bahwa perilaku mereka didasarkan atas nama cinta. Padahal kenyataannya, perilaku tersebut adalah bukti adanya relasi yang timpang antara orang tua dengan anak.
Pendidikan seksual adalah salah satu aspek penting yang harus dipelajari dan diketahui oleh seorang manusia. Tidak hanya untuk belajar mengenai otonomi tubuh sendiri, melainkan juga tentang bagaimana untuk merawat dan menjaga kesehatan tubuh sendiri serta agar bisa menghargai tubuh sendiri maupun orang lain. Meski penting, tetapi mayoritas masyarakat Indonesia masih menganggap seks adalah tabu. Alih-alih mulai terbuka dan mengajarkannya sejak dini, mayoritas orang tua lebih memilih untuk menutup rapat-rapat persoalan tersebut.
Dalam situasi yang penuh tekanan seperti pandemi, perempuan kerap mengalami dampak sosial yang berlipat ganda. Bagi para perempuan yang bekerja, beban mereka semakin berat karena mereka juga diharuskan mengurusi urusan rumah tangga. Jika biasanya, di kantor ia bisa terbebas sejenak dari urusan rumah, tetapi karena sekarang harus di rumah saja perempuan susah mengelak perannya sebagai pekerja maupun ibu rumah tangga. Sayangnya, keadaan ini juga dipicu oleh anggapan bahwa urusan rumah tangga seharusnya dijalankan oleh istri. Alih-alih membantu mengurusi pekerjaan rumah, kebanyakan laki-laki cenderung abai dan memilih untuk menyerahkan segalanya kepada sang istri. Selain itu, faktor ekonomi juga membuat perempuan lebih rentan mengalami stress hingga depresi bahkan menjadi korban KDRT.
Pembagian kerja dalam rumah tangga selalu menjadi topik yang seksi diperbincangan. Alasannya, relasi antar pasangan adalah setara, sehingga baik suami maupun istri harus saling berbagi beban. Tak mengherankan, jika saat ini mulai banyak orang yang sadar bahwa memasak, mencuci baju dan piring, menyapu, dan mengurus anak bukan hanya tanggung jawab istri aja. Suami juga punya andil dalam pekerjaan tersebut. Sayangnya, perbincangan peran dalam rumah tangga tak melulu persoalan kesepakatan bersama atau sekadar komunikasi. Ada permasalahan sistemis yang membuat pemahaman kita tentang kerja menjadi abu-abu bahkan cenderung salah kaprah. Sama seperti pekerjaan lainnya, pekerjaan rumah tangga seharusnya bisa lebih dihargai dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi para pelakunya.
Bisa dibilang, split bill adalah membayar sendiri-sendiri saat berkencan dengan pasangan. Hal ini sebenarnya wajar aja jika mengingat setiap orang seharusnya bisa mandiri secara finansial dan tidak bergantung kepada orang lain. Plus, dengan membayar sendiri-sendiri juga dianggap sebagai upaya untuk menghargai pasangan. Sayangnya, persepsi yang berkembang di masyarakat adalah bahwa laki-laki “merasa harus” atau diharuskan untuk membayari perempuan saat kencan. Ada yang merasa gengsi apabila harus membagi pembayaran atau malah dibayari oleh perempuan. Ada juga yang merasa bahwa membayari teman kencan sebenarnya soal kebiasaan saja dan seringkali tidak ada hubungannya dengan tingkat kasih sayang. Namun sayangnya, kebiasaan ini justru menjadi toxic karena menyebabkan laki-laki merasa harus dituruti kemauannya, lebih-lebih jika ia yang sering membayari biaya kencan. Di sisi lain, masih ada perempuan yang menganggap bahwa laki-laki lah yang seharusnya membiayai biaya kencan mereka. Laki-laki dianggap pantas dan mampu menjadi pasangan hidup apabila bisa membiayai kebutuhan perempuan. Padahal pemikiran demikian justru mengkerdilkan perempuan di hadapan laki-laki. Sadar ataupun tidak, perempuan yang bergantung material sepenuhnya dengan pasangannya akan mendapatkan stigma matre atau justru mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Seolah-olah beban finansial yang ditanggung laki-laki untuk membayari perempuan adalah hutang budi dan harus dibalas. Entah sudah memiliki penghasilan atau belum, seharusnya setiap orang bisa menjadi mandiri dengan tidak bergantung kepada orang lain. Akan lebih baik jika kita membiasakan diri untuk membayar sendiri-sendiri. Selain dirasa cukup adil, cara ini membuat kita lebih nyaman dan sehat secara finansial.
Maraknya pemberitaan tentang putusan peradilan bagi Reynhard Sinaga tidak hanya membuat warga Inggris heboh, tapi juga publik Indonesia. Sayangnya, kehebohan ini justru menimbulkan sentimen negatif kepada kaum LGBT. LGBT yang sejatinya adalah kaum yang paling rentan dipersekusi menjadi semakin terpojokkan, seolah-olah dosa Reynhard juga ditanggung oleh mereka. Padahal apa yang dilakukan oleh Reynhard adalah perilaku seksual yang menyimpang dan tidak ada hubungannya dengan identitas gender maupun orientasi seksual seseorang. Oleh karena itu, pada episode ke-19 ini, Equality akan membahas secara mendalam bagaimana hidup menjadi seorang gay. Anton, narasumber kami, bersedia untuk membagikan kisah dan pengalamannya tentang sebuah pilihan sekaligus menegaskan kepada kita bahwa setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama. Dan yang lebih penting, pelecehan seksual dan pemerkosaan itu adalah persoalan relasi kuasa. Tidak peduli apapun gender dan identitas seksualmu, semua berpotensi menjadi korban.
Menunjukkan kemesraan di ruang publik atau lebih dikenal dengan istilah public display affection (PDA) sebenarnya adalah hal yang wajar. Sayangnya, kegiatan ini punya hubungan erat dengan nilai-nilai norma yang berlaku di suatu tempat. Di Indonesia, berciuman dan berpelukan di ruang publik dianggap menyalahi norma, tetapi berpegangan tangan masih dianggap suatu hal yang wajar. Namun berpelukan bisa dianggap wajar jika terjadi di tempat-tempat khusus, misalnya di bandara, mall atau saat menikmati konser. Menunjukkan kemesraan di ruang publik memang beririko mendapatkan cibiran, tatapan sinis atau bahkan teguran dari orang lain yang melihatnya. Namun beberapa orang memilih bodo amat dan tetap memilih untuk melakukannya. Alasan utamanya, untuk meningkatkan citra diri terutama kepada pasangannya. Ada juga yang merasa bahwa mengekspresikan sesuatu, misalnya dengan berpegangan tangan, mencium kening pasangan atau berpelukan adalah hal yang wajar. Lebih-lebih bagi mereka yang terbiasa melakukan itu semua di dalam keluarga. Meskipun demikian, nyatanya tidak semua orang nyaman melihat kemesraan di ruang publik. Menurut psikolog Dr. Hill, PDA bisa membuat orang yang melihatnya rishi dan memberi penilaian negatif, seperti tidak tahu tempat, kepada orang yang melakukan PDA. Bagi sebagian orang, PDA dianggap meresahkan karena diangga[ menyalahi standar kesopanan yang dianutnya. Pada dasarnya, siapapun bebas menunjukkan kasih sayang kepada pasangannya, termasuk dengan memamerkan kemesraan di ruang publik karena itu termasuk hak individu yang bersifat privat. Namun, perlu dipahami juga bahwa tidak semua orang nyaman dan merasa wajar jika menyaksikannya. Dan bagi mereka yang merasa risih, wajar-wajar aja kok, tetapi bukan berarti “penonton” juga berhak menghakimi mereka yang melakukan PDA lho ya! Apalagi sampai harus mencampuri urusan orang lain yang tidak mereka kenal.
Bagi perempuan, disuit-suitin atau digoda di jalanan adalah hal yang menyebalkan. Selain bikin nggak nyaman, 'panggilan' ini memicu perasaan insecure bahkan terancam jika dikuntit ke sana ke mari. Sayangnya, sebagian laki-laki beranggapan bahwa 'panggilan' tersebut hanyalah iseng belaka. Padahal jelas-jelas perbuatan ini sudah termasuk ke dalam pelecehan verbal (street harassment). Menurut survei yang dilakukan oleh Lentera Sitas Indonesia pada tahun 2016 silam, pelecehan seksual secara verbal adalah kekerasan seksual yang paling umum terjadi pada perempuan. Yang menyedihkan, perempuan seringkali tidak bisa berbuat apapun untuk membalas si pelaku. Entah karena takut atau memang tidak ingin mencari masalah lainnya. Lantas mengapa budaya catcalling diwajarkan? Apakah ada hubungannya dengan ketubuhan perempuan? Yuk, simak obrolan tentang catcalling bersama Dinda Shafira dan Agri Satrio di episode 17 ini!
Seksisme adalah prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Pemahaman ini muncul akibat stereotip-stereotip yang diasosiasikan pada salah satu gender saja, terutama terhadap feminitas atau keperempuanan. Dalam budaya patriarki, kelaki-lakian atau maskulinitas dianggap sebagai pihak superior dan berkuasa. Struktur sosial demikian menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Laki-laki dengan “hak istimewa” merasa berhak mengeksploitasi tubuh perempuan, termasuk untuk mengatur cara berperilaku perempuan dan bagaimana tentang menjadi perempuan. Kondisi inilah yang menyebabkan tumbuhnya praktek peranan sosial berdasarkan kelakilakian atau keperempuanan. Padahal sejatinya, memang tidak ada hubungannya antara jenis kelamin dengan peranan sosialnya. Di episode ini, Dinda Shafira bersama dengan Zahra dan Lita Nurul akan mengupas tuntas mengenai budaya seksime di sekitar kita.
Secara biologis, laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan. Jika laki-laki, ia ditandai dengan penis, sementara perempuan ditandai dengan vagina dan rahim. Perbedaan inilah yang membuat perempuan “dibebani” lebih banyak soal fungsi reproduksi. Dimulai dari haid, hamil, melahirkan hingga menyusui (2H-2M). Sayangnya, perbedaan biologis ini sering disalahpahami masyarakat. Karena beban reproduksinya, perempuan dianggap sebagai warga kelas dua berikut dengan tuntutan tugasnya seperti harus berada di rumah, mengurus anak, dan melayani suami. Akibatnya, ruang gerak perempuan menjadi sempit dan terbatas. Hal inilah yang disebut sebagai ketimpangan gender. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya memiliki hak dan kesempatan yang sama. Oleh sebab itu, demi meraih hak yang sama di segala bidang, perempuan mengharapkan kesetaraan gender. Kesetaraan yang dimaksud bukan serta-merta menyamakan fungsi perempuan dan laki-laki, melainkan adalah menginginkan akses dan kesempatan yang sama sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya.
Gender adalah tentang keperempuanan (feminitas) dan kelaki-lakian (maskulin). Gender dibentuk oleh konstruksi sosial yang berupa tatanan sosial, budaya dan istiadat masyarakat. Meski identik dengan jenis kelaminnya, tetapi gender dapat berubah sesuai dengan waktu dan kondisi seseorang. Sayangnya, masih banyak orang yang menganggap bahwa perbedaan fisiologis seperti memiliki penis atau vagina adalah indikator utama kepantasan perilaku seseorang. Ada masyarakat yang masih sangat membatasi peranan individu berdasarkan jenis kelaminnya. Namun, ada juga kelompak masyarakat yang sudah mulai bisa menerima pembagian peranan dan umumnya tidak lazim bagi kebanyakan orang. Lantas, sejak kapan sih konsep gender muncul? Dan mengapa topik gender sering dikaitkan dengan kajian feminisme? Yuk, simak obrolan Dinda Shafira dan Zahra di episode 14 ini!
Selama ini, poligami diartikan sebagai perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri. Meski prakteknya diperbolehkan dalam Islam, tetapi poligami tetap saja menuai kecaman karena penyimpangan-penyimpangannya. Sejatinya memang tidak akan pernah ada perempuan yang ingin dimadu. Beberapa orang kerap melegitimasi sejarah Nabi Muhammad yang melakukan poligami tanpa melihat latar belakang mengapa Nabi melakukan hal demikian. Lantas, bagaimana sebenarnya Islam memandang poligami? Mengapa praktek ini lantas dijadikan dikomersialisasikan menjadi sebuah komoditas? Dan apakah para pelaku poligami sudah mampu bersikap adil kepada istri-istrinya? Yuk, dengarkan fakta mencengangkan seputar poligami bersama dengan Dinda Shafira, Zahra, dan Sanela Anles!
Meski zaman telah berkembang dan mengharuskan perempuan ikut berpartisipasi dalam industri, tetapi perempuan yang sudah menikah masih dibebani dengan kewajiban domestik. Apalagi, masyarakat masih menganggap bahwa peran utama seorang perempuan yang sudah menikah adalah menjadi istri dan ibu, bukan sebagai seorang pekerja. Kurangnya partisipasi suami dalam urusan rumah tangga, membuat perempuan bekerja ini menjalani peran ganda. Jika di luar rumah ia adalah pekerja, tapi jika sudah kembali ke rumah ia harus menjalani perannya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Padahal kerja sama amat dibutuhkan dalam rumah tangga. Toh, tidak ada yang lebih dominan, sebab sejatinya sifat hubungan itu adalah setara. Baik suami maupun istri seharusnya bisa saling membantu dan berbagi peran, apalagi jika keduanya adalah pekerja. Yuk, simak obrolan seru Dinda Shafira bersama dengan Zahra tentang dilema peran ganda perempuan hanya di episode ke-12 ini!
Entah disengaja atau sekadar basa-basi, mengomentari tubuh seseorang akan lebih banyak berdampak negatif kepada orang tersebut. Body shaming hampir selalu mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, baik itu perempuan maupun laki-laki. Namun, adanya konsep beauty standard dalam masyarakat, perempuanlah yang lebih sering mengalami body shaming. Beberapa perempuan bahkan rela mengubah bentuk tubuhnya demi memenuhi anggapan masyarakat. Padahal tidak selamanya mengubah diri itu selalu baik. Lantas, bagaimana sih caranya untuk menyikapi body shaming di sekitar kita? Apakah basa-basi harus selalu ngomongin bentuk tubuh? Lantas, kenapa kita jadi gampang tersinggung ketika membicarakan tubuh? Simak obrolan seru Dinda Shafira bersama Laudita Kanana, Alissa Bratajaya dan Ilda Peraladesi hanya di Equality episode 11 ini!
Menurut data Komnas Perempuan tahun 2018, kekerasan dalam hubungan pernikahan dan pacaran mencapai angka 71% atau 9.637 kasus. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa perempuan lebih rentan mengalami kekerasan dari orang-orang terdekatnya, yaitu suami atau pacar. Sayangnya, masyarakat masih menganggap bahwa kekerasan dalam hubungan pernikahan adalah urusan privat keluarga. Padahal UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah menegaskan, kasus KDRT adalah urusan publik. Negara punya kewenangan untuk turut serta mengatur persoalan ini. Bagaimanapun, KDRT adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Simak diskusi seru Dinda Shafira bersama Sanela Anles yang akan membahas secara mendalam tentang toxic and abusive relationship, kasus KDRT di sekitar kita hingga apa saja yang perlu dilakukan ketika mengalami kekerasan dalam sebuah hubungan.
Idealnya, sebuah hubungan itu bersifat dua arah dan setara dengan melibatkan peran satu sama lain untuk saling membantu, saling mendukung, dan saling memelihara satu sama lain. Tapi, apabila salah satu tidak terlibat atau merasa tertekan, bisa jadi hubungan tersebut menjadi toxic alias tidak sehat. Sayangnya, meski seseorang sudah menyadari dirinya berada di hubungan yang toxic, tapi seringkali ia memilih bertahan hanya karena alasan cinta atau percaya dirinya bisa mengubah diri pasangannya. Padahal pasanganmu tidak akan berubah kalau bukan karena kemauan dia sendiri. Sebaliknya, kamu juga perlu berkaca dan introspeksi diri karena siapa tau malah dirimu sendiri yang toxic bagi orang-orang di sekitarmu.
Ketika melakukan sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, kita butuh yang namanya persetujuan. Contoh paling sederhana adalah kita tidak boleh menyentuh seseorang secara sengaja tanpa persetujuan darinya. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai consent. Consent hanya dapat tercipta dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Consent tidak melulu diungkapkan dengan kata "ya". Gerak tubuh, mimik wajah, perkataan tertentu, dan sikap diam juga menjadi penanda apakah seseorang setuju atau tidak. Ikuti bahasan menarik lainnya dengan follow kami di IG (@pijakpodcast) dan Twitter (@pijakpodcast)
Penggunaan jilbab kini kian populer seiring dengan menguatnya politik identitas berbasis Islam. Jilbab pun menjelma menjadi salah satu "alat" demi terwujudnya Islamisasi di ruang publik. Sayangnya, fenomena anjuran/imbauan berjilbab juga diterapkan oleh sekolah-sekolah negeri. Padahal sekolah negeri seharusnya memberikan ruang lebih untuk keberagaman. Sebab, tidak semua murid terutama yang beragama Islam sepakat dan nyaman mengenakan jilbab. Kadang-kadang mereka mengenakan jilbab hanya karena takut diintimidasi oleh guru-gurunya atau malah merasa terkucilkan dari pergaulan di sekolahnya. Follow IG dan Twitter kami di @pijakpodcast
Transportasi umum yang aman dan nyaman adalah dambaan bagi setiap orang. Namun sayangnya, angkutan umum yang tersedia masih jauh dari kata aman. Banyak kasus kriminal justru sering ditemui di angkutan umum, misalnya pencopetan, penodongan sampai yang paling ekstrim adalah pelecehan seksual. Meski pemerintah sudah berupaya memberikan solusi alternatif dengan menyedikan gerbong atau ruang khusus perempuan, nyatanya hal ini belum sepenuhnya efektif. Malahan adanya ruang khusus ini justru menimbulkan masalah baru di antara perempuan. Lantas, solusi apakah yang tepat untuk menghindari pelecehan seksual di transportasi umum? Bagaimana cara kita memproteksi diri agar terhindar dari pelecehan seksual?
Menjajaki era industri, kini semakin banyak perempuan yang memilih untuk berkarier, di samping menjadi seorang ibu dan mengurusi rumah tangga. Namun, sayangnya jumlah perempuan yang menduduki posisi penting di perusahaan ternyata belum sebanding dibandingkan jumlah laki-laki. Hal ini terjadi karena peran ganda yang dijalani oleh seorang perempuan. Pemerintah melalui UU Ketenagakerjaan sudah mengatur tentang hak perempuan yang berkarier, di antaranya adalah hak mendapatkan cuti haid dan hak cuti hamil serta melahirkan. Namun, apakah aturan ini sudah melindungi hak perempuan? Apakah aturan ini sudah berjalan efektif? Lalu bagaimana dengan hak laki-laki? Apakah mereka juga berhak mendapatkan cuti melahirkan?
Menjalani hidup hari ini perlu semakin realistis, salah satunya dalam berkeluarga. Tahun demi tahun kebutuhan keluarga semakin meningkat saja. Entah ini karena rata-rata keluarga semakin konsumtif atau hidup yang semakin sulit. Akibatnya, manusia yang akan membangun keluarga perlu mendiskusikan masalah finansial dengan pasangan, apakah keduanya nanti sama-sama bekerja atau salah satu saja. Yang jelas, tidak ada pilihan yang paling baik. Keputusan yang bijak mestinya disesuaikan dengan kondisi keluarga masing-masing.
Perempuan dalam sastra seringkali dijadikan objek kajian, bukan pelaku pembuat karya sastra. Pengaruh ideologi patriarki membuat perempuan dicitrakan sebagai tokoh yang memiliki sifat khas "keperempuanan", misalnya penurut, pasrah, baik hati, dan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Lantas, bagaimana seharusnya sastra menempatkan perempuan? Apakah kedudukan perempuan sebagai subjek sastra mampu mengubah sudut pandang pembaca yang terlanjur patriarkis? Dan bagaimana kita sebaiknya memandang citra perempuan dalam karya sastra?
Bicara soal menikah muda kadang-kadang bikin dilema. Di satu sisi, menikah muda itu dianggap sebagai perbuatan baik. Tapi di sisi lain, menikah muda juga nggak selalu kelihatan indah seperti yang ditampilkan di medsos. Lantas, bagaimana sebaiknya kita menyikapi fenomena ini?
Setiap Hari Kartini, kita sering disuguhi berbagai macam kutipan yang kebanyakan diambil dari tulisan-tulisannya Kartini. Namun, apakah kita sudah benar-benar paham, apa sih sesungguhnya yang diperjuangkan Kartini? Apa cita-cita besarnya? Peristiwa-peristiwa apa dalam hidupnya yang membentuk pola pikirnya? Bagaimana latar belakang keluarganya? Bagaimana masa kecilnya? Tertarik menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas? Yuk, dengerin episode perdana Equality Podcast ini!