Menulis apapun yang ada pada kepala, mengkonversikannya menjadi beberapa tulisan yang dipenuhi berbagai rasa. - Instagram : @__ardikamal @__ruangtulis Youtube : Ardi Kamal Karima
Sebuah PuisiSARAPAN SEBELUM TIDURDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Tidak Ada New York Hari IniHari-hari membakar habis diriku. Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri, jari-jariku berubah jadi badai angin. Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan.Semua perihal, diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.Seorang ayah membelah anak dari ibunya -dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #tidakadanewyorkhariini #aadc #aadc2 #rangga #cinta
Sebuah PuisiDI TEMPAT JAUH TIDAK ADA MASA LALUDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Tidak Ada New York Hari IniHari-hari membakar habis diriku. Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri, jari-jariku berubah jadi badai angin. Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan.Semua perihal, diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.Seorang ayah membelah anak dari ibunya -dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #tidakadanewyorkhariini #aadc #aadc2 #rangga #cinta
Sebuah PuisiBAHASA BARUDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Tidak Ada New York Hari IniHari-hari membakar habis diriku. Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri, jari-jariku berubah jadi badai angin. Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan.Semua perihal, diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.Seorang ayah membelah anak dari ibunya -dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #tidakadanewyorkhariini #aadc #aadc2 #rangga #cinta
Sebuah PuisiDI HALAMAN BELAKANG PUISI INIDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Tidak Ada New York Hari IniHari-hari membakar habis diriku. Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri, jari-jariku berubah jadi badai angin. Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan.Semua perihal, diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.Seorang ayah membelah anak dari ibunya -dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #tidakadanewyorkhariini #aadc #aadc2 #rangga #cinta
Sebuah PuisiDI KULKAS: NAMAMUDitulis Oleh Joko PinurboDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Selamat Menunaikan Ibadah PuisiDari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Sabda sudah menjadi saya. Saya akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara. Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri. Menggigil adalah menghafal rute menuju ibu kota tubuhmu. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku. Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #jokopinurbo #selamatmenunaikanibadahpuisi
Sebuah PuisiDESEMBERDitulis Oleh Joko PinurboDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Selamat Menunaikan Ibadah PuisiDari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Sabda sudah menjadi saya. Saya akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara. Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri. Menggigil adalah menghafal rute menuju ibu kota tubuhmu. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku. Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #jokopinurbo #selamatmenunaikanibadahpuisi
Sebuah PuisiDI ATAS MEJADitulis Oleh Joko PinurboDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Selamat Menunaikan Ibadah PuisiDari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Sabda sudah menjadi saya. Saya akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara. Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri. Menggigil adalah menghafal rute menuju ibu kota tubuhmu. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku. Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #jokopinurbo #selamatmenunaikanibadahpuisi
Sebuah PuisiHUTAN KARETDitulis Oleh Joko PinurboDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Selamat Menunaikan Ibadah PuisiDari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Sabda sudah menjadi saya. Saya akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara. Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri. Menggigil adalah menghafal rute menuju ibu kota tubuhmu. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku. Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #jokopinurbo #selamatmenunaikanibadahpuisi
Sebuah PuisiTENGAH MALAMDitulis Oleh Joko PinurboDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Selamat Menunaikan Ibadah PuisiDari kamar mandi yang jauh dan sunyi saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Sabda sudah menjadi saya. Saya akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara. Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri. Menggigil adalah menghafal rute menuju ibu kota tubuhmu. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Lupa: mata waktu yang tidur sementara. Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku. Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #jokopinurbo #selamatmenunaikanibadahpuisi
Sebuah PuisiPAGI DI CENTRAL PARKDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Tidak Ada New York Hari IniHari-hari membakar habis diriku. Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri, jari-jariku berubah jadi badai angin. Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan.Semua perihal, diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.Seorang ayah membelah anak dari ibunya -dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #tidakadanewyorkhariini #aadc #aadc2 #rangga #cinta
Sebuah PuisiKETIKA ADA YANG BERTANYA TENTANG CINTADitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Tidak Ada New York Hari IniHari-hari membakar habis diriku. Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri, jari-jariku berubah jadi badai angin. Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan.Semua perihal, diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.Seorang ayah membelah anak dari ibunya -dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #tidakadanewyorkhariini #aadc #aadc2 #rangga #cinta
Sebuah PuisiTIDAK ADA NEW YORK HARI INIDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Tidak Ada New York Hari IniHari-hari membakar habis diriku. Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri, jari-jariku berubah jadi badai angin. Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan.Semua perihal, diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.Seorang ayah membelah anak dari ibunya -dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #tidakadanewyorkhariini #aadc #aadc2 #rangga #cinta
Sebuah PuisiCINTADitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku Tidak Ada New York Hari IniHari-hari membakar habis diriku. Setiap kali aku ingin mengumpulkan tumpukan abuku sendiri, jari-jariku berubah jadi badai angin. Dan aku mengerti mengapa cinta diciptakan.Semua perihal, diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.Seorang ayah membelah anak dari ibunya -dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #tidakadanewyorkhariini #aadc #aadc2
Sebuah PuisiPERIHAL TOKOH UTAMA KOMIKDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku: Melihat Api BekerjaAku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri."Menikmati Akhir Pekan"(Mendengarkan Larik-larik Aan Masyur) Beberapa pilihan puisi M Aan Masyur dalam Melihat Api Bekerja Sajak buat Seseorang yang tak Punya Waktu Membaca Sajak Kata-kata bukan jembatan yang bisa membuat sepatumu tidak tersentuh lumpur. Kata-kata bukan kendaraan yang pandai melayang dan menghindarkanmu dari kemacetan. Kata-kata tak ingin jadi senjata untuk kau gunakan membunuh atasanmu. Kata-kata adalah awan yang mengamati jendela kamarmu menjelang matahari tenggelam. Pernahkah kau membayangkan bagaimana rasanya memiliki awan sebagai hewan peliharaan? Ia lebih setia dari kebiasaan buruk.“Aan adalah salah seorang dari dua atau tiga penyair kita yang berhasil memaksa kita dengan cermat mendengarkan demi penghayatan atas keindahan dongengnya.“ Sapardi Djoko Damono#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #melihatapibekerja
Sebuah PuisiMENJATUHKAN BINTANG-BINTANGDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku: Melihat Api BekerjaAku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri."Menikmati Akhir Pekan"(Mendengarkan Larik-larik Aan Masyur) Beberapa pilihan puisi M Aan Masyur dalam Melihat Api Bekerja Sajak buat Seseorang yang tak Punya Waktu Membaca Sajak Kata-kata bukan jembatan yang bisa membuat sepatumu tidak tersentuh lumpur. Kata-kata bukan kendaraan yang pandai melayang dan menghindarkanmu dari kemacetan. Kata-kata tak ingin jadi senjata untuk kau gunakan membunuh atasanmu. Kata-kata adalah awan yang mengamati jendela kamarmu menjelang matahari tenggelam. Pernahkah kau membayangkan bagaimana rasanya memiliki awan sebagai hewan peliharaan? Ia lebih setia dari kebiasaan buruk.“Aan adalah salah seorang dari dua atau tiga penyair kita yang berhasil memaksa kita dengan cermat mendengarkan demi penghayatan atas keindahan dongengnya.“ Sapardi Djoko Damono#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #melihatapibekerja
Sebuah PuisiLAUT BERPARUH MERAHDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku: Melihat Api BekerjaAku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri."Menikmati Akhir Pekan"(Mendengarkan Larik-larik Aan Masyur) Beberapa pilihan puisi M Aan Masyur dalam Melihat Api Bekerja Sajak buat Seseorang yang tak Punya Waktu Membaca Sajak Kata-kata bukan jembatan yang bisa membuat sepatumu tidak tersentuh lumpur. Kata-kata bukan kendaraan yang pandai melayang dan menghindarkanmu dari kemacetan. Kata-kata tak ingin jadi senjata untuk kau gunakan membunuh atasanmu. Kata-kata adalah awan yang mengamati jendela kamarmu menjelang matahari tenggelam. Pernahkah kau membayangkan bagaimana rasanya memiliki awan sebagai hewan peliharaan? Ia lebih setia dari kebiasaan buruk.“Aan adalah salah seorang dari dua atau tiga penyair kita yang berhasil memaksa kita dengan cermat mendengarkan demi penghayatan atas keindahan dongengnya.“ Sapardi Djoko Damono#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #melihatapibekerja
Sebuah Puisi TELANJANG DI DEPAN CERMINDitulis Oleh M. Aan MansyurDisuarakan Oleh Ardi Kamal KarimaDalam Buku: Melihat Api BekerjaAku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri. "Menikmati Akhir Pekan"“Aan adalah salah seorang dari dua atau tiga penyair kita yang berhasil memaksa kita dengan cermat mendengarkan demi penghayatan atas keindahan dongengnya.“ -Sapardi Djoko Damono-#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta #aanmansyur #melihatapibekerja
Sebuah Puisi KOMPOSISIDitulis Oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan Oleh @insom_mia08 Puisi ini menyajikan identitas diri yang penuh paradoks melalui metafora alam yang kontradiktif. Penyair menggambarkan dirinya sebagai "asin garam di air tawar", "ombak tinggi di danau-danau yang tenang", dan "rerumputan hijau di padang yang kekeringan" – mencitrakan sesuatu yang asing namun hadir, mengganggu namun memberi rasa, kecil namun penuh harap. Kontradiksi ini mempertanyakan esensi keberadaan ("perlu vs diperlukan") dan fungsi diri di tengah lingkungan yang tak selaras. Pencarian makna ini diperkuat dengan pertanyaan retoris yang menggambarkan kebingungan antara doa yang sia-sia, antara tangis yang salah arah, atau harapan yang samar di antara mimpi yang seperti debu.Penyair mengkontraskan fatamorgana dan hiasan pada puisinya (seperti lampion pesta) yang menipu dan memicu keragu-raguannya, dengan "bayangan-bayangan" yang justru diakui lebih jujur daripada kenyataan. "Fatamorgana" mewakili ilusi atau harapan palsu yang tak terlihat oleh si penyair, sementara lampion menyimbolkan kesemuan perayaan yang berujung pada abu atau (surat yang tak terbaca). Di tengah kepalsuan ini, bayangan menjadi metafora kejujuran bagi batin yang merekam "dahaga" dan mampu meringankan "sesak juga rindunya", menyiratkan bahwa dalam kesunyian teresebut ada kejujuran terhadap diri sendiri atas pelipur yang ditemukan.Pertemuan dengan "kamu" digambarkan sebagai benih yang diterbangkan oleh angin – suatu peristiwa yang ditanyakan, antara takdir dan kebetulan yang dipaksakan. Puisi ini kemudian beralih menjadi harapan tentang dirinya sendiri. "semoga jadi puisi" yang "rumit" namun menjadi pegangan di gelap (seperti simpul tali yang tak perlu untuk diurai), dan puisi yang "indah" seperti pantulan langit kelam di tengah danau. Gambaran ombak dan asin karang yang "kembali padamu dengan diam-diam" menegaskan siklus dari pengalaman si penyair, rasa, dan kontemplasi yang akhirnya bermuara pada sang "kamu", menutup rangkaian metafora awal dengan kesadaran. Bahwa segala kompleksitas identitas dan perasaan pada akhirnya adalah bagian dari dialog sunyi dengan sang lainnya yang akan dan selalu ditemui.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta
Sebuah Puisi: BERITA CUACADitulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan: @insom_mia08Puisi ini menggunakan metafora cuaca untuk menggambarkan kekacauan psikologis yang mendalam. "Hujan tak kunjung reda" di langit pikiran melambangkan pikiran yang overthinking dan kata-kata yang terpendam. Ancaman "banjir bandang di wilayah ingatan" dan "angin kencang" yang menyapu nama-nama orang menunjuk pada trauma masa lalu yang mengikis identitas diri, membuat narator merasa seperti "pendatang asing tanpa nama". Cuaca ekstrem ini bukan fenomena alam, melainkan gambaran badai emosi yang menghancurkan ingatan dan rasa diri.Penyair menyoroti ironi antara ramalan optimis dari luar ("Besok akan cerah") dengan realitas internal yang suram. "Layar kaca" (media) yang menyampaikan mantra positif justru kontras dengan "awan hitam" yang mengancam detak jantungnya dan "petir yang membunuh segala doa". Penggunaan istilah teknis seperti "peta cuaca" dan "laporan cuaca" untuk menggambarkan dada yang dikepung kabut makian serta matahari yang padam di balik kelopak mata, menegaskan kegagalan sistem (eksternal maupun internal) dalam memahami atau meredakan penderitaannya. Suhu tubuh yang "mencairkan setengah kesadaran" menandakan disosiasi akibat beban yang tak tertahankan.Di tengah krisis, muncul figur "ahli cuaca" (mungkin suara hati atau naluri) yang memperingatkan bahaya di "wilayah perasaan". Namun, peringatannya sudah terlambat—"akar-akar cemasku" telah menjelma menjadi "air laut yang dewasa" dan menciptakan "fenomena bencana yang terasa tabu". Klimaks puisi hadir dalam kontras antara keputusasaan narator yang "tak punya payung" untuk menahan "hujan yang mementaskan gemuruh pekat", dengan seorang anak yang justru membuka jendela dan "membaca hujan sebagai nyawa". Anak ini mewakili kemungkinan penerimaan: melihat kesakitan bukan sebagai bencana, tapi sebagai "alfabet lumrah" dalam bahasa kehidupan—sebuah "sajak yang menetes pelan dari manusia". Puisi ditutup dengan penegasan bahwa penderitaan bukanlah akhir, melainkan bagian dari puisi hidup itu sendiri.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi
Sebuah Puisi: Kau Murtad Jika Aku Tuhan Bagi Agama CintamuDitulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan: Insom-MiaPuisi ini membangun metafora cinta sebagai sebuah agama, dengan sang "aku" lirik sebagai "Tuhan"-nya. Ketaatan, kewajiban, dan kitab suci (mewakili janji, komitmen, dan aturan hubungan) adalah pilar agama cinta ini. Kekasih ("kau") dianggap telah "murtad" karena mengabaikan perintah, menyia-nyiakan "kitab" (mungkin janji setia atau esensi hubungan), dan bermain-main dengan "dosa" (pelanggaran dalam hubungan). Pengkhianatan dalam cinta disamakan dengan kemurtadan dalam agama, menekankan betapa dalamnya luka dan pelanggaran yang dirasakan sang "aku".Sang "aku" memperingatkan adanya konsekuensi ("pahala" dari ketakutan/cemburu) dan janji "surga" cinta yang sulit diraih, penuh perjuangan dan kepedihan ("susah, lelah dari berbagai pilu"). Namun, kekasih justru "berpindah agama", mencari makna cinta ("hakikat iman cinta") yang baru di tempat lain, yang dianggap "semu" oleh sang "aku". Tindakan kekasih meninggalkan hubungan ini digambarkan sebagai penyimpangan keyakinan ("terpaling dan memalingkan keyakinan"), menyoroti perasaan dikhianati dan ditinggalkan untuk sesuatu yang dianggap palsu.Di bagian akhir, meski terluka, sang "aku" menyatakan pengampunan dan menunggu pertobatan ("tobat dari cintamu"). Namun, ada ironi dan kesadaran diri yang mendalam. Sang "aku" mengakui keterbatasannya: hanya mampu memberi "tafsir-tafsir yang semu" dan "agama yang bisa saja palsu". Pengakuan ini meruntuhkan otoritasnya sebagai "Tuhan" cinta. Ia menyadari bahwa agama cinta yang dibangunnya mungkin juga ilusi, palsu, atau subjektif. Penutup ini mengungkap keraguan diri, kesadaran akan kompleksitas cinta, dan pertanyaan mendasar tentang keabsahan klaim kebenaran mutlak dalam hubungan asmara.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #cinta
Sebuah Puisi: GELAP TERANGDitulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan: Ardi Kamal KarimaPuisi ini membuka dengan gambaran suram kehidupan yang terluka: pelita (harapan) yang padam di kegelapan malam, kemiskinan ("bibir-bibir sumbing," "tubuh menelantang"), dan ketidakberdayaan ("bayangan lebih panjang daripada tubuh"). Sungai yang "diam-diam menelan nama" menyimbolkan hilangnya identitas atau korban yang dilupakan, sementara pertanyaan "siapa pengganti cahaya?" dan "hidup dengan coretan di papan basah" menegaskan kegagalan menemukan solusi dan kondisi hidup yang rapuh serta tak menentu.Puisi kemudian meluas ke kerusakan lingkungan ("hutan-hutan masih membakar diri") yang ironisnya dilakukan demi bertahan hidup di tengah polusi zaman. Keterpurukan semakin dalam digambarkan dengan "doa di saku bolong," simbol iman atau harapan yang bocor dan tak tersimpan baik. Pertanyaan retoris "apakah fajar hanya dongeng... pembohong?" mencerminkan krisis keyakinan mendalam, keraguan apakah harapan ("fajar") hanyalah ilusi atau kebohongan kosong yang diwariskan.Meski suram, puisi menawarkan secercah ketahanan. "Remang yang merayap seperti akar menguak retakan tembok" melambangkan harapan atau perlawanan kecil yang gigih dan tak terhentikan, tumbuh dari celah-celah kesulitan. Terang didefinisikan ulang bukan sebagai janji muluk ("bukanlah janji"), melainkan sebagai "luka yang bersedia mengobati diri sendiri" – sebuah proses penyembuhan aktif dari penderitaan itu sendiri. Penantian panjang ("waktu... tamu yang lupa pulang") dan kutipan Kartini di akhir ("Habis gelap terbitlah terang") bukan kepasifan, melainkan pengakuan akan perjuangan panjang sekaligus penegasan kembali keyakinan bahwa terang, dalam bentuknya yang lebih nyata dan personal, pada akhirnya akan muncul.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #habisgelapterbitlahterang #kartini
Sebuah Puisi: DALAM TANDA KUTIP CINTADitulis oleh Jasmine Noor RayhaniDisuarakan: Kata Hati MalaPuisi ini menggambarkan perasaan cinta yang muncul secara halus dan tenang, seperti seekor kupu-kupu yang hinggap di hati penyair di pagi hari. Kehadiran cinta ini tidak gaduh, melainkan sunyi dan penuh kelembutan, disimbolkan dengan kupu-kupu yang diam dan seolah tersenyum. Gambaran ini mewakili momen kesadaran akan perasaan cinta yang tiba-tiba hadir dengan damai dalam diri.Kupu-kupu dengan sayap kecilnya menjadi metafora keterbatasan penyair dalam mengungkapkan seluruh besarnya rindu dan perasaan. Sayap itu "tak cukup untuk membawa rinduku" melintasi langit yang tak dikenal. Namun, kehadiran sang kekasih mengubah segalanya: kupu-kupu itu "terbang tiap kali kau datang" dan "pulang ke dada" penyair, membawa pesan cinta yang hanya bisa dipahami olehnya. Ungkapan cinta itu seperti tulisan di udara—abstrak, personal, dan "tak pernah selesai".Di akhir puisi, penyair menyatakan dengan tegas bahwa bukan kupu-kupu (simbol) yang mencintai, melainkan dirinya sendiri. Kupu-kupu hanyalah perantara yang "tak henti menyebut namamu". Ini merupakan pengakuan jujur bahwa segala rasa, rindu, dan getaran cinta itu berasal dari dalam hatinya sendiri. Puisi ini menegaskan bahwa cinta sejati bersumber dari diri, diungkapkan dengan cara yang unik dan intim, meski terkadang terasa terlalu besar untuk diungkapkan sepenuhnya.Puisi ini adalah meditasi tentang kelahiran cinta yang sunyi, kesulitan mengungkapkannya secara utuh, dan pengakuan akhir bahwa sumber segala rasa itu adalah hati sang penyair sendiri, dengan segala kerinduannya yang tak terbatas.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #meramurasa #cinta
Sebuah Puisi: BARANGKALIDitulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan: Ardi Kamal KarimaPuisi ini mengungkap kerinduan mendalam akan kehidupan yang tenang dan bermakna. Penyair membayangkan memiliki rumah sederhana, merawat tanaman, dan melakukan rutinitas kecil seperti menyiram atau memanen sayur. Aktivitas sehari-hari ini menjadi simbol keinginan untuk ketenangan, kedekatan dengan alam, dan kepuasan dalam hal-hal kecil yang dirawat dengan penuh perhatian. Kehangatan juga dihadirkan melalui bayangan menyeruput teh dan bercakap-cakap tanpa sekat.Meski membayangkan kehangatan bersama ("bersamamu"), puisi ini secara kuat diwarnai nuansa kesendirian. Penyair menyibukkan diri di malam hari dengan lampu neon, rokok, kopi, atau buku, "menjelajahi dunia" dalam kesunyian. Pertanyaan "Dengan siapa?" dan jawaban "Bisa jadi dengan diriku" menegaskan bahwa interaksi yang dibayangkan (termasuk dengan "kamu") mungkin hanya terjadi dalam imajinasi atau dialog internal penyair sendiri, sebagai pelarian dari kesepian di "gelapnya ruang".Rumah yang diinginkan bukanlah sekadar bangunan fisik ("dari siapa saja"), melainkan lebih merupakan metafora untuk ruang psikologis atau keadaan batin yang aman dan nyaman. Puisi ini menggambarkan pencarian tempat bernaung (baik fisik maupun emosional) di mana penyair bisa menjadi dirinya sendiri, merawat hal-hal kecil, dan menemukan kedamaian, meskipun mungkin harus melakukannya sendirian atau hanya dalam bayangan kehadiran orang lain ("Atau kamu"). Akhiran yang terbuka ("Atau kamu") menegaskan ketidakpastian dan sifat "barangkali" dari kerinduan ini.Puisi "Barangkali" menyuarakan kerinduan akan kehidupan sederhana yang penuh kehangatan dan perawatan, namun dibayangi oleh kesadaran akan kesendirian yang mendalam. Penyair menggunakan imajinasi dan rutinitas kecil sebagai pelarian serta mencari "rumah" yang lebih bersifat abstrak – sebuah ruang batin untuk merasa tenang dan utuh, meski mungkin hanya ditemani diri sendiri atau bayangan kehadiran orang lain.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #meramurasa #cinta
Sebuah Puisi: AKU MEMBANGUN APA?Ditulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan: Ardi Kamal KarimaPuisi ini mengangkat Konflik dan Penolakan Terhadap Kehancuran Eksternal Penyair menggambarkan suara lantang (pekik) yang telah lama tertanam dan bergema dalam dirinya, disertai kegaduhan. Namun, ia menolak keras untuk menjadi sumber kehancuran yang terlihat seperti "api" atau "marabahaya". Ia menyadari bahwa kerusakan dalam dirinyalah ("rusak di inti saya") yang memicu kegilaan ini, tetapi ia tak ingin mewujudkannya dalam bentuk kekacauan yang nyata.Kesepian dan Ketahanan dalam Kepedihan Penyair bertahan bertahun-tahun bersama bayangan dan impian yang redup. Ia merasakan keterasingan yang lebih dalam dari kesepian biasa. Sekali lagi, ia menegaskan penolakan untuk menjadi kekuatan destruktif yang tiba-tiba dan menakutkan ("petir" atau "teriakan"). Justru, kepedihan yang mematahkan hatinyalah ("Patah dihati ini") yang menjadi sumber ketahanannya untuk terus bertahan dalam kesunyian ini.Kehancuran sebagai Fondasi dan Penolakan Balas DendamKeyakinan telah hancur berantakan tanpa menyisakan keindahan. Penyair mempertanyakan cinta dan cara manusia beroperasi, yang seolah membuatnya terpuruk selamanya ("lebih hitam"). Meskipun dihantui kehancuran ini, ia dengan tegas menolak menjadi pendendam atau sosok menyeramkan. Puisi diakhiri dengan kesadaran paradoks: justru kehancuran itulah ("Kehancuranlah") yang menjadi benang dan fondasi ("menyulam") yang membentuk segala sesuatu yang dialami dan dirasakannya sekarang. Judul "Aku Membangun Apa?" menemukan jawabannya: ia (terpaksa) membangun identitas dan keberadaannya di atas puing-puing kehancuran batin yang dialaminya.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair
Sebuah Monolog: Anjing Yang Bernyanyi Dalam Bahasa BungaDitulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan: Ardi Kamal KarimaPuisi ini menggambarkan sosok "Ia" sebagai predator berkedok persahabatan. Dengan penampilan ambigu dan klaim netral ("Aku bukan lelaki", "teman/besti/banci"), ia berpura-pura tulus sambil menyembunyikan nafsu seksual yang manipulatif. Metafora binatang seperti serigala berbulu domba, anjing yang menyanyi, dan lalat dari pembuangan mengekspos kepalsuannya—senyum manisnya menyimpan "bangkai hasrat membusuk", sementara tangan dan tatapannya melanggar batas fisik korban ("kau").Tokoh "Ia" secara sistematis merusak hubungan antara "Aku" (pembicara) dan "Kau" (kekasih/korban). Di balik topeng persahabatan platonik, ia memborgol kepercayaan, merampas tubuh, dan memicu perselingkuhan ("senggama antara perempuan dan si anjing"). Pembicara menyaksikan dengan murka bagaimana "Kau" tertipu oleh kepura-puraan "Ia"—tawa palsu "berwarna pelangi" dan kedok identitas ambigu dipakai untuk menyamar sebagai "bulan di siang semu" sembari menggerogoti cinta mereka.Monolog ini berakhir dengan amarah sinis dan ramalan. Pembicara mengejek hasrat mesum "Si Anjing" yang berujung absurd (hasrat pada darah menstruasi hanya jadi "sejumlah peju"). Ia meramalkan bahwa topeng "Ia" akan terbuka saat "cerminnya yang busuk" terungkap—tapi saat itu, sang pembicara telah pergi ("aku sudah tak lagi mau"). Ending "Haha lucu!" menjadi teriakan getir sekaligus kutukan terhadap kelicikan, hipokrisi, dan kehancuran yang ditimbulkan si manipulator.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #stopnormalisasiboti #boti #lgbt #kelainan #kekerasanseksual
Sebuah puisi: Dulu, Aku Pikir.Ditulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan: Bintang KiranaPuisi ini merefleksikan perubahan perspektif manusia terhadap dunia seiring bertambahnya usia, menggambarkan transisi dari masa kanak-kanak yang penuh fantasi menuju kedewasaan yang lebih realistis melalui diksi sederhana namun penuh imaji. Kontras antara harapan masa kecil dan kenyataan dewasa menciptakan efek melankolis, namun diakhiri dengan nada optimis: keajaiban tetap ada, meskipun kini lebih sulit ditemukan. Struktur puisi yang bergerak dari pengandaian masa lalu ke kesadaran masa kini membentuk alur naratif yang kuat, hampir seperti dongeng yang berakhir dengan kebijaksanaan hidup. Puisi ini juga menyiratkan perjalanan epistemologis manusia dalam memahami realitas, di mana masa kecil diwarnai oleh pemikiran magis yang perlahan digantikan oleh rasionalitas dan hukum sebab-akibat seiring bertambahnya usia. Gagasan ini mencerminkan filsafat eksistensialisme, yang menuntut manusia menemukan makna dalam dunia yang tampaknya tak bermakna. Namun, alih-alih menyerah pada nihilisme, penyair menyarankan bahwa makna dan keajaiban tetap ada, hanya saja perlu lebih banyak usaha untuk menemukannya. Dari sudut pandang psikologi perkembangan, puisi ini merefleksikan perubahan kognitif seperti yang dijelaskan dalam teori Jean Piaget, di mana pemikiran anak yang animistik dan subjektif bertransisi menuju tahap operasional yang lebih logis dan objektif. Meski begitu, bagian akhir puisi menunjukkan bahwa meskipun pemahaman rasional berkembang, kebutuhan manusia akan keajaiban dan makna tetap ada, mencerminkan konsep "inner child" dalam psikologi—bagian diri yang masih mendambakan keajaiban dan imajinasi di tengah kesibukan dan tekanan hidup dewasa.Footage:- Broken Home Indonesia: ShortMovie Broken Home is not the end - a short film- Netflix Trailer: Movie Sheila Dara Usir Keluarga Sendiri dari Pameran | Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini | ClipAudio: - Netflix Trailer: Movie Sheila Dara Usir Keluarga Sendiri dari Pameran | Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini | Clip- Voice Bintang Kirana- You're My Soul - Briem Bergmann, Dixie- My Brother - Dixie WayneKalian bisa menemukan saya : Https://instagram.com/__ardikarimaHttps://Twitter.com/Ardi_karimahttps://open.spotify.com/show/5qXSYrOqMP6CTAhXuSNdYd?si=C6V-ngF6Q9W7pjoOBdgeEQhttps://www.tiktok.com/@__ardikamal?_t=8mNxLI8EuZU&_r=1#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair
Puisi: KAUDitulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan Oleh Insom-MiaPuisi ini menggambarkan "KAU" sebagai entitas yang hadir dalam bentuk-bentuk sederhana namun penuh makna, menjadi sumber kenyamanan dan ketenangan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui metafora seperti "kasur rapih", "nasi kotak ibu", atau "notifikasi 100% baterai", "Kau" dihadirkan sebagai sesuatu yang konstan, setia, dan memberi rasa aman. Ia adalah tempat pulang setelah lelah, sesuatu yang tak banyak bicara tetapi selalu ada, menyembunyikan rindu yang matang dalam kesabaran. Baris-baris seperti "sisi dinginmu yang menunggu sampai rindu cukup umur" atau "kita tidak pernah ke mana-mana, namun waktu seakan tak lagi ada" menegaskan relasi intim yang melampaui kata-kata, di mana kehadiran "Kau" menjadi penawar kesepian dan kekosongan. Namun, di balik kesederhanaan itu, puisi ini juga menyiratkan nuansa kesendirian dan kerinduan yang tersamar. "Kau" adalah "kursi kosong di keramaian yang tiba-tiba bisu" atau "senyum terakhir sebelum lampu dipadamkan"—gambaran yang mengisyaratkan ketidakhadiran fisik, tetapi tetap hidup dalam ingatan dan perasaan. Ada paradoks: "Kau" hadir sebagai kenyamanan, tetapi juga mengingatkan pada kehilangan atau jarak yang tak terucap. Misalnya, "sisa remahan di ujung bungkus snack yang tak teraba" atau "sunyi yang tak perlu diterjemahkan" menyiratkan bahwa hubungan dengan "Kau" mungkin terjalin dalam kesenyapan, di mana kehadiran dan ketidakhadiran saling bertaut. Pada akhirnya, "KAU" adalah ruang teduh yang memungkinkan penyair menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Baris seperti "nafas pertama yang kembali setelah sekian lama terasa ngilu" atau "kita bersembunyi di balik kulit cinta dan puisi aku" menunjukkan bahwa "Kau" bukan sekadar orang atau objek, tetapi juga metafora untuk cinta, waktu, atau bahkan seni yang menjadi pelarian. Puisi ini merayakan kehadiran kecil-kecilan yang justru memberi makna besar: sebuah kenyamanan yang tak menuntut, sebuah cinta yang diam-diam mengisi ruang antara kesibukan, kesepian, dan kerinduan.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektif #cinta
Puisi: BERGANTIANDitulis oleh Ardi Kamal KarimaDisuarakan Oleh Bintang KiranaPuisi "Membelah Rasa Percaya" menggali konflik batin dalam hubungan yang retak akibat kehilangan kepercayaan. Pembukaannya, "Aku lupa bagaimana caranya membaca rupa dari prasangka," menunjukkan kegagalan komunikasi dan ketidakmampuan memahami pasangan, bahkan untuk sekadar menafsirkan keraguan. Kegelisahan ini diperkuat oleh gambaran waktu yang kabur ("Entah siang, entah malam") dan mendung yang "berbeda dari biasanya," mencerminkan kekacauan emosi yang mengaburkan realitas. Penyair seolah terjebak dalam lingkaran pertanyaan tanpa jawab, di mana kelelahan dan kekecewaan menjadi tembok yang memisahkan dua insan.Pada bait kedua, puisi ini menyoroti paradoks antara kerinduan dan kepedihan yang disembunyikan. "Ada rindu yang kupesan tanpa nama" mengisyaratkan kerinduan yang tak terungkap, sementara "pilu yang kusembunyikan dalam tawa" menegaskan betapa rasa sakit dipendam demi menjaga ilusi kebahagiaan. Pertanyaan retoris, "Apa betul ada hidup yang begitu surga?" mengkritik harapan naif tentang cinta yang sempurna, yang justru runtuh ketika kepercayaan hilang. Pasangan yang "kehilangan rasa percaya" digambarkan seperti dua insan yang terdampar di antara ilusi dan realitas, di mana cinta tak lagi mampu menjadi jembatan.Bait terakhir menguatkan tema keputusasaan melalui metafora alam: "Gaduh kian luruh tuk jadi kita" dan "Gemuruh tak mau jauh menghadiahi luka." Suara bising dan gemuruh mungkin mewakili pertengkaran atau konflik yang tak terhindarkan, sementara "laut percaya" yang tak terbelah menjadi simbol akhir dari hubungan tanpa rekonsiliasi. Penyair menegaskan bahwa cinta tanpa kepercayaan ibarat laut yang tak mungkin dibelah—tak ada mukjizat atau solusi ajaib. Penutup ini meninggalkan kesan pilu: ketika kepercayaan hancur, yang tersisa hanyalah luka dan pengakuan bahwa cinta tak bisa bertahan hanya dengan nostalgia atau harapan kosong.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #cinta
Puisi: BERGANTIANDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini menggali ketegangan antara kebahagiaan dan kesedihan yang "bergantian" menghinggapi manusia. Pertanyaan berulang, "kenapa kau selalu bisa tersenyum dalam keadaan apapun?" menyiratkan keheranan terhadap ketenangan yang mungkin palsu atau hasil dari pergulatan batin. Alam menjadi metafora untuk dualitas ini: bayang pohon yang terbelah, angin membawa tawa lama, dan tanah yang mencatat setiap jeda. Gambaran seperti duri yang tumbuh jadi pepohonan atau buah yang lahir dari "suka dan sekelumit rela" menegaskan bahwa luka dan keindahan sering kali menyatu, menciptakan komposisi hidup yang paradoks.Ketenangan digambarkan sebagai sesuatu yang mengalir lalu sirna, "hanya bahasa yang kehilangan arah" atau "kehancuran yang tertelan Kompas." Ini menunjukkan bahwa kedamaian mungkin ilusi, atau justru lahir dari penerimaan atas kehancuran. Puisi juga menyoroti kontras antara kegembiraan yang sulit diungkapkan ("gembira terlalu asing untuk dinyanyikan") dan nestapa yang "mahir merangkai puisi." Penyair, seperti "si kepala jeruji," terkurung dalam paradoks: keterampilannya merangkai kata justru berasal dari sepi yang "mengoyaknya." Seni menjadi produk dari luka yang abadi, sekaligus upaya bertahan di zaman yang kacau.Puisi ini ditutup dengan pertanyaan yang sama seperti pembuka, menegaskan siklus abadi antara bahagia dan pilu. Gambaran akhir—"retakan yang tak pernah ditutup," "kematian kita selama ini," serta ketenangan sebagai "tanah yang tak berpihak"—menyoroti ketidakpastian hidup. Bahkan fajar yang melumat gulita hanya menghasilkan diam yang bertunas jadi ironi. Di sini, manusia diajak menerima bahwa jawaban atas pertanyaan eksistensial mungkin tak pernah datang. Yang tersisa adalah keindahan pilu, seperti puisi ini sendiri: bisu, namun bergema dalam sunyi.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra
Puisi: EKSPEKTASIDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi "Ekspektasi" menggambarkan hubungan yang terjebak dalam ketidakselarasan akibat perbedaan esensial dan ekspektasi yang tak terpenuhi. Dua individu diibaratkan sebagai "dua gelas" dalam lemari yang sama—satu berisi kopi pekat, satu teh manis—simbol kontras kepribadian atau cara menghadapi hidup. Meski berbagi ruang, mereka tak mampu menyatu. Percakapan di meja makan "retak-retak" bagai sendok yang aktif bergerak dan garpu yang pasif menunggu rusak, mencerminkan komunikasi yang dipaksakan tanpa harmoni. Perbedaan ini diperkuat metafora hujan dengan "logat kemarau" dan tarian di tengah badai, menunjukkan cara mereka merespons emosi yang berlawanan, namun tetap tak sejalan.Waktu menjadi penanda kebingungan mereka membedakan "rindu dan kesepian", seperti pedagang kehilangan kunci timbangan. Malam-malam diumpamakan kertas yang ditulis angka hitam dan puisi kapur—satu rigid, satu ekspresif—menegaskan jurang dalam memaknai hubungan. Bayang-bayang yang bersatu sebentar lalu menguap, atau ombak yang tak pernah mencintai pasir, menyiratkan kesementaraan dan ketidakmampuan untuk saling memahami. Mereka ibarat "dua musim" yang saling menunggu gugur, terperangkap dalam iklim emosional yang berbeda: dingin vs terik, namun sama-sama tak nyaman. Jam dinding yang berdetak menyimpan "bagaimana jika", simbol harapan yang tak pernah terkirim, mengkristalkan kegagalan mereka merajut masa depan bersama.Ekspektasi dalam puisi ini adalah jebakan yang justru memisahkan. Benang harapan mereka pintal menjadi jaring, tetapi laut cinta hanya genangan di atap—kecil dan tak berarti. Meski berbagi "penyedap rasa yang sama", mereka tetap terkurung dalam "toples berbeda", tak mampu mengatasi jarak nyata di antara keduanya. Pengulangan larang pembuka dan penutup, "aku bisa jadi apa saja, kecuali ekspektasimu", menjadi mantra penuh kepedihan tentang identitas yang tertolak. Puisi ini akhirnya adalah elegi atas hubungan yang terperangkap antara hasrat untuk bersatu dan realita perbedaan yang tak terdamaikan, di mana cinta tak cukup untuk mengubur ekspektasi yang menjadi tembok tak tertembus.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra
Puisi: MIMPIDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi "MIMPI" karya Ardi Kamal Karima menggali makna mimpi sebagai kekuatan yang menopang kehidupan manusia di tengah keterbatasan. Pertanyaan retoris, "apa yang membuat manusia tak ingin mati?" dijawab dengan tegas: "mimpi". Mimpi di sini bukan sekadar harapan kosong, melainkan daya hidup yang menggerakkan tokoh dalam puisi untuk bertahan dalam kemiskinan dan kepahitan. Sepeda yang meninggalkan jejak, jam dinding yang bergerak lambat, dan tangan bapak yang menghitung utang melambangkan perjuangan melawan waktu dan beban ekonomi. Namun, di balik itu, ada kreativitas yang lahir dari kesederhanaan: mainan dari pelepah pisang, layangan dari kertas lamaran usang, dan keringat yang menjadi "polusi" permainan—semuanya menunjukkan bagaimana mimpi menyulap keterbatasan menjadi ruang imajinasi yang hidup.Puisi ini juga menyoroti kontras antara kegagalan dan keteguhan harapan. Layangan dari kertas lamaran yang "tak pernah sampai ke langit" atau potongan mimpi yang "tersengat listrik" menjadi metafora untuk aspirasi yang terhambat oleh realitas keras, seperti kemiskinan dan sistem yang tak berpihak. Namun, tokoh dalam puisi tidak sepenuhnya terpuruk. Ia tetap "bertepuk tangan pada bayangan sendiri", merayakan keindahan dalam kesunyian, sekalipun ditertawakan tetangga. Senyum bapak saat layangannya tersangkut di kabel listrik mengisyaratkan penerimaan yang ikhlas, di mana kegagalan justru menjadi arsip pengalaman yang membentuk ketahanan batin. Mimpi, meski pahit, tetap mengalir seperti "debu-debu yang mengekor di belakang langkah", tak pernah padam.Di akhir puisi, mimpi dikukuhkan sebagai warisan abadi yang melampaui materi. Tokoh "aku" menyatakan diri sebagai "bahasa isyarat dari barang-barang yang dibuang", simbol dari mereka yang terpinggirkan namun tetap memancarkan makna melalui mimpi. Meski hidup di "puing-puing yang tak bisa dijual" dan langit yang "tak pernah membalas surat", cinta dan mimpi tetap mengalir dalam nadinya, didukung oleh kasih ibu dan didikan bapak. Pilu dalam mimpi yang "mencari muara" menggambarkan pergulatan batin yang tak berujung, tetapi juga keyakinan bahwa mimpi adalah napas yang menjembatani manusia dengan keabadian. Puisi ini, dengan demikian, adalah ode tentang ketangguhan manusia yang bertahan bukan karena harta, melainkan karena mimpi yang terus menyala dalam gelap.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra
Puisi: LUKADitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini menggali makna kehidupan melalui metafora "luka" sebagai pengalaman yang membentuk manusia. Dari kelahiran, luka sudah menjadi bagian tak terpisahkan: tangisan pertama bayi adalah awal napas yang dipicu tamparan, simbol penderitaan yang mengajarkan bertahan hidup. Luka fisik seperti jatuh dari sepeda atau goresan di betis menjadi guru pertama tentang keseimbangan dan bangkit. Namun, luka tak hanya fisik—ia juga hadir dalam dinamika keluarga. Ayah yang memaksa anak membaca, tapi justru kerutan di dahinya yang lebih jujur mengisahkan beban ekonomi. Ibu yang senyumnya kalah jumlah dari retakan lantai, menggambarkan nestapa yang tersembunyi di balik rutinitas. Luka-luka ini merasuk menjadi memori, membentuk cara pandang terhadap dunia.Luka kemudian berkembang menjadi luka batin: patah hati, tekanan sosial, dan kegagalan. Cinta pertama diibaratkan pisau tumpul yang menyisakan serpihan dikumpulkan menjadi puisi. Patah hati menjadi "sekolah malam" yang mengajarkan ketahanan dalam kesendirian. Tekanan tetangga tentang pernikahan atau gaji diibaratkan derik jangkrit yang menggerogoti malam, mencerminkan absurditas tuntutan masyarakat. Gelar akademis pun tak mampu menutupi mimpi yang mati muda, digantikan oleh luka-luka baru seperti parut di siku dari kerja keras yang tak kunjung memuaskan. Luka menjadi bahasa universal yang tak terbakar, abadi dalam diam, sekaligus bukti eksistensi manusia yang terus bertahan.Pada akhirnya, puisi ini menyimpulkan bahwa hidup adalah akumulasi luka yang bertunas di bawah kulit. Luka-luka itu disimpan, bocor sesekali, menjadi danau tempat manusia berenang dalam kesunyian. Meski tak terlihat, luka tak pernah benar-benar sembuh—ia menjelma abu yang tetap berdarah, simbol kepedihan yang melekat dalam perjalanan hidup. Luka bukan sekadar derita, melainkan catatan perjuangan, guru yang mengajarkan makna kedewasaan, dan bukti bahwa manusia tetap hidup justru karena kemampuan mereka merawat luka-luka itu. Dalam diam, luka-luka itulah yang membentuk identitas, mengajari manusia untuk terus bernapas di tengah retakan dunia.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #sastra
Puisi: DISTOPIADitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini menggambarkan dunia dystopia yang dilanda represi, kehancuran lingkungan, dan dehumanisasi. Langit yang "mencatat setiap langkah" mengisyaratkan pengawasan ketat penguasa, sementara "burung-burung lupa cara bernyanyi" menjadi metafora hilangnya kebebasan dan keindahan hidup. Diam menjadi bahasa yang dominan, mencerminkan masyarakat yang dibungkam oleh kekuasaan otoriter, sementara "hujan besi" dan racun di sungai menegaskan kerusakan alam akibat eksploitasi dan keserakahan. Nelayan yang berdoa di antara "mayat-mayat logam" menyimbolkan kepasrahan manusia yang terjepit antara harapan dan kehancuran ekologis.Puisi ini juga menyoroti kegagalan generasi muda dan pudarnya harapan. Anak-anak yang menanam benih di ladang tak subur melambangkan usaha sia-sia untuk menumbuhkan masa depan, sementara senyapnya benih menjawab pertanyaan mereka mencerminkan kegagalan sistem untuk memberikan solusi. Tubuh yang "dipenuhi nanah" dan dianggap sebagai "kuburan yang menjelma rumah" menegaskan normalisasi penderitaan serta hilangnya kemanusiaan. Bahkan identitas manusia kabur, sulit dibedakan dari "hewan pengerat", menandai dehumanisasi akibat tekanan hidup yang ekstrem.Namun, di balik keputusasaan, puisi ini menyisipkan benih perlawanan. "Suara yang merambat di balik tembok retak" dan "akar-akar liar yang menembus beton" menjadi simbol ketahanan manusia untuk mencari keadilan, meski sering dipatahkan sebelum berkembang. Luka yang disimpan sebagai "detak" dan benih yang menunggu tegak mengisyaratkan bahwa di tengah tanah yang "digerus para keparat", masih ada api perlawanan yang tersembunyi. Puisi ini mengakhiri dengan paradoks: kepedihan yang sekaligus menjadi pengingat untuk tetap bergerak, meski dalam kegelapan dystopia.#ardikamal #keadilan #pancasila #penyair #wijithukul #tolakruutni #tolakruupolri #keparat #indonesia #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #sastra
Puisi: ANTIMUDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi "Anti Mu!" menggambarkan kegelisahan atas kehidupan modern yang dipenuhi kontradiksi dan ketidakseimbangan. Metafora "menelan tablet seperti menelan kota terbalik" menyiratkan konsumsi hal-hal artifisial (obat, teknologi, atau sistem kota) yang justru memicu kekacauan internal. Tubuh dan pikiran digambarkan menderita: usus menjerit dalam "bahasa logam" (industrialisasi yang merusak), kepala menjadi "pasar" kacau di mana ide ("kembang") tak bisa tumbuh, dan mual yang terpendam di "kerongkongan zaman" melambangkan kegagalan manusia mengatasi beban masa lalu atau tekanan zaman. Puisi ini mengekspos bagaimana modernitas tidak menyelesaikan masalah, malah memperparah disorientasi.Percakapan yang retak ("lidahku sudah mati rasa") dan upaya mengatasi kegelisahan dengan hal-hal artifisial ("menggambar gempa dalam botol sirup") menjadi simbol kegagalan komunikasi dan solusi instan. Waktu yang meleleh ("jam dinding meneteskan jarum"), ritual minum kata-kata kosong di tengah malam, serta "kuburan ponsel" yang ditumbuhi lumut menggambarkan kehampaan interaksi manusia di era digital. Vertigo semiotika—kebingungan makna—diperparah oleh upaya memaksakan bahasa ("menyuntik alfabet ke urat rasa") yang berujung pada ekspresi yang mandul: puisi dianggap seperti "kapsul kedaluwarsa" yang tak lagi menyembuhkan, hanya memuntahkan kepalsuan.Puisi ini ditutup dengan ironi tentang ketidakberdayaan manusia. "Antimo" (obat anti-mual) hanya tamu palsu yang mencuri kedamaian, meninggalkan manusia "menggigil" dan mencari pelarian melalui pil tidur. Muntah yang hanya mengeluarkan "sumpah serapah" menegaskan betapa segala upaya penyembuhan berakhir pada frustrasi. Namun, di balik keputusasaan, ada penerimaan absurd: manusia tertawa di tengah "langit-langit rumah sakit yang meleleh menjadi sajak", merangkul prasangka, dan membiarkan "pusing" pulang ke asalnya. Ini adalah pengakuan tragis bahwa dalam kekacauan zaman, yang tersisa hanyalah senyum getir dan puisi yang lahir dari luka.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra
Sebuah Puisi: MASUK RUMAH HANTUDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi "Masuk Rumah Hantu" menggambarkan perjalanan psikologis melalui ruang-ruang kegelapan yang metaforis, merepresentasikan pikiran dan emosi yang terpecah. Rumah hantu itu sendiri bisa dimaknai sebagai jiwa atau ingatan yang terluka, di mana sang aku lirik berhadapan dengan kebimbangan ("dinding bimbang"), ketakutan ("suara tulang retak"), serta identitas yang retak ("cermin yang bolong"). Imaji seperti "langkah pertama berjubah sumpah" dan "debu yang menolak tumpah" mengisyaratkan upaya mempertahankan kendali atas ingatan atau trauma yang terus mengancam, sementara bayang-bayang dan lorong bisu mencerminkan kesepian dan kegagalan komunikasi. Ruang pertama ini menjadi simbol konflik internal antara keberanian menghadapi masa lalu dan keinginan untuk melarikan diri.Di kamar kedua, waktu menjadi penjara yang menggerogoti ("jam dinding menggigit nadiku"). Detik-detik yang "menjalar" dan "jari-jari tumbuh menjadi basah" menyiratkan kecemasan yang tak terelakkan, seolah waktu justru memperparah luka psikis. Tangga menuju "rongga di dada" dan "ular kabut" yang menggulung kata-kata tak terucap menguatkan tema represi emosi. Ular, sering kali simbol pengetahuan atau bahaya tersembunyi, di sini justru membungkam suara, menunjukkan betapa pengalaman atau perasaan yang tak pernah diekspresikan akhirnya mengkristal menjadi beban. Pertanyaan "mimpi atau simulasi?" serta bayi yang hilang di ruang bawah tanah menambah lapisan eksistensial: apakah penderitaan ini nyata atau ilusi, dan bagaimana cara merawat "bayi" (mungkin harapan atau masa kecil) yang terabaikan?Di ruang terakhir, klimaks puisi ini mengungkap keputusasaan yang paradoks. Sang aku lirik menemukan dirinya sendiri yang statis, "duduk di kursi berlumur lumut," memeluk kontradiksi antara cinta dan kebencian. Pintu yang "mengetuk seperti kupu-kupu ingin menjadi larva" adalah ironi: keinginan untuk regresi atau mengulang masa lalu justru tak mungkin, sebagaimana kupu-kupu tak bisa kembali jadi larva. Pencarian "kunci yang mungkin tak pernah ada" menjadi simbol absurditas usaha manusia mencari jawaban atau penebusan dalam hidup, sementara trauma dan pertanyaan terus menghantui. Puisi ini menutup dengan kesadaran bahwa terkadang, yang tersisa hanyalah keberanian untuk tetap berada dalam ketidakpastian, merangkul kehancuran diri sebagai bagian dari proses menjadi.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra
Sebuah Puisi: KABUR DARI RUMAH SAKIT JIWADitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini menggambarkan pergulatan batin penyair yang berusaha melarikan diri dari belenggu pengobatan mental yang kaku dan tidak manusiawi. Dalam tiga bait pertama, penyair menggambarkan rumah sakit jiwa sebagai tempat yang mereduksi penderitaan menjadi sekadar resep obat, diagnosa dangkal, dan rutinitas medis yang menusuk jiwa. Metafora seperti "dokter-dokter menulis resep di atas nafasku yang retak" dan "suster-suster menari di atas kabel infus" mencerminkan ketidaknyamanan terhadap sistem yang mengabaikan esensi manusiawi pasien. Langit-langit kamar yang "meneteskan bau surga" menjadi simbol harap akan kebebasan, meski jalan menuju kesembuhan terasa seperti "peta buta" yang tak jelas.Pelarian dari rumah sakit jiwa bukan sekadar upaya fisik, melainkan pemberontakan terhadap stigma dan keterasingan. Bait berikutnya menegaskan ketakutan penyair menjadi "daftar pasien puisi"—metafora untuk identitas yang hilang di bawah label gangguan mental. Meski rumah sakit berteriak bahwa ia akan kembali, penyair memilih kabur sambil menyadari bahwa luka dan kegagalan mungkin diperlukan untuk menemukan "jalan pulang" yang lebih autentik. "Tangga darurat" yang tak ada merepresentasikan ketiadaan solusi instan, sekaligus keberanian untuk menciptakan kemungkinan baru di luar batasan sistem.Di luar rumah sakit, penyair menemukan pembebasan melalui interaksi dengan alam dan proses merangkai identitas yang hilang. "Udara mengulurkan tangan sebagai terapis baru" dan "angin menenun selimut" melambangkan penyembuhan yang organik, jauh dari klinis. Saat mengeja namanya di "aspal basah", hilangnya suku kata dan tawa yang terpecah mencerminkan perjalanan rekonstruksi diri yang belum utuh, tetapi penuh kelegaan. Puisi ini menutup dengan pesan bahwa kesembuhan jiwa tidak selalu linear, tetapi bisa ditemukan dalam keberanian menghadapi luka dan merayakan fragmen-fragmen kebebasan.#ardikamal #mentalillnes #mentalhealth #depression #depresi #syair #literasi #penulis #poem #puisi #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra
Sebuah Puisi: TOLAK INGINDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi "Tolak Ingin" karya Ardi Kamal Karima menggambarkan kegelisahan yang mendalam melalui metafora tubuh dan elemen alam. Angin yang "berkeliaran di rongga dada" dan "menggulung paru-paru" melambangkan kecemasan yang menggerogoti ketenangan batin. Citra termometer dari "air mata kaca" dan "skala hari-hari yang tak terbaca" menegaskan ketidakstabilan emosi, seolah pengarang terjebak dalam waktu yang kacau dan tak terukur. Upaya untuk "berkeringat" yang berubah menjadi "alfabet tercecer" merepresentasikan kegagalan mengekspresikan diri secara utuh—setiap huruf (a: aku, b: basi, c: cemas) menjadi fragmen perasaan yang tak tersampaikan, berubah menjadi "awan asam lambung" yang menyakitkan.Puisi ini juga mengeksplorasi hubungan dengan waktu yang terasa mengancam. Jam dinding yang "menjilat jarum detik" dan "gigi-gigi waktu bersuara setengah gila" mencitrakan waktu sebagai entitas yang menggerogoti, sementara sang aku hanya menjadi "saksi bisu". Keterasingan semakin kuat saat malam (3.00 pagi) "menggigit bantal", mengisyaratkan insomnia dan kesendirian. Bahkan organ tubuh seperti hati dan empedu digambarkan tak saling memahami, menandakan disintegrasi diri. "Jamu dan rempah" yang disebut sebagai "iklan menipu" menyiratkan kekecewaan pada solusi instan, baik fisik maupun psikis, yang gagal menyembuhkan luka batin.Di akhir puisi, keputusasaan mengeras saat "angin bersarang di tulang busuk", simbol kehancuran diri yang tak terelakkan. Burung-burung yang terbang "ke utara, atau ke mana saja, selain menuju diriku" mencerminkan keinginan untuk kabur dari realitas, namun sang aku justru terperangkap dalam tubuhnya sendiri. Demam yang tak kunjung pecah meski "seluruh apotek menjual parasetamol" menunjukkan kegagalan obat-obatan atau motivasi untuk menyembuhkan. "Botol-botol kepercayaan kadaluarsa" menjadi klimaks dari kehancuran: kepercayaan pada diri, harapan, atau sistem pendukung telah runtuh, meninggalkan sang aku dalam ruang hampa yang gelap dan tanpa jalan pulang.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #manusia #tolakingin #keinginan #ingin #nafsu #monologue
Sebuah Puisi: OREODitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini mengeksplorasi dikotomi antara penampilan dan realitas internal. Kulit Oreo yang "hitam legam" dengan krim putih di dalamnya menjadi simbol kontras antara identitas yang terpaksa dibungkus oleh ekspektasi masyarakat ("plastik menarik") dan jiwa yang rapuh ("lumer di dalam"). Proses "diputar, dijilat, dicelup" mencerminkan cara individu dimanipulasi, dikonsumsi, dan dihancurkan oleh sistem sosial yang menuntut kesesuaian. Namun, perlawanan tersirat dalam larik "tak mau aku tenggelam dan redup!", menyuarakan resistensi terhadap objektifikasi dan keinginan untuk mempertahankan esensi diri di tengah tekanan.Puisi ini mengkritik kapitalisme dan dehumanisasi melalui metafora pabrik dan iklan. "Mesin rusak yang bengis" menggambarkan kehidupan yang teralienasi di bawah sistem industri, sementara "tagar selfcare" yang kosong dan "senyuman palsu pejabat" menyindir paradoks masyarakat modern: obsesi pada penampilan kebahagiaan dan kepedulian diri yang justru menutupi luka kolektif. Pertanyaan retoris seperti "mental siapa yang lebih retak?" atau "apa kau bisu?" menantang pembaca untuk merefleksikan komplisitas mereka dalam memelihara sistem yang merusak mental dan moral.Puisi ini menggambarkan siklus absurd kehidupan di bawah hegemoni konsumerisme. Oreo yang "lahir lagi di rak supermarket" menjadi simbol manusia yang terjebak dalam repetisi tanpa makna, dikemas ulang sebagai "metafora" yang dijual dalam "pesta karnaval berisik". Harapan untuk menjadi "rengginang" atau "chitato" alih-alih Oreo menyiratkan kerinduan akan keaslian di tengah dunia yang menuntut performa. Namun, akhir yang sinis—"kapan rotasi ini akan berhenti?"—menegaskan pesimisme tentang kemungkinan pembebasan, sekaligus menuntut kesadaran akan mekanisme kekuasaan yang menggerus kemanusiaan.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #manusia
Sebuah Puisi: 4x4Ditulis & DisuarakanPuisi "4X4" karya Ardi Kamal Karima mengusung tema eksistensialisme yang gelap, di mana struktur matematis (4x4) menjadi metafora kekakuan yang justru berujung pada "sekarat" atau kematian. Angka dan hitungan di sini merepresentasikan upaya manusia untuk mengikat makna melalui logika, namun berakhir pada kehampaan dan penderitaan. Imaji seperti "tembok yang mengulang" dan "kuburan kosong tanpa nisan" menggambarkan siklus stagnasi, di mana kreativitas atau emosi terperangkap dalam repetisi tanpa hasil, layaknya rahang yang mengunyah kata-kata hingga menjadi puisi yang tercekat.Puisi ini juga menyoroti kegagalan komunikasi dan keterasingan. "Debu adalah kata-kata yang tak sempat diucapkan" dan "alfabet yang kehilangan bibir" menjadi simbol ketidakmampuan mengekspresikan perasaan, sementara "lampu redup" dan "asap rokok" mencerminkan harapan yang pudar. Alam—seperti hujan tanpa pelangi, matahari, dan bulan—digambarkan sebagai entitas yang acuh, meninggalkan manusia dalam ilusi dan kesendirian. Bahkan waktu ("jarum jam merangkak seperti lipan") menjadi penjara yang menggerogoti, mengisyaratkan betapa hidup terjebak dalam siklus penderitaan abadi.Di balik kesuraman, puisi ini adalah kritik terhadap performativitas seni. Proses kreatif di sini bukanlah pembebasan, melainkan "pementasan manusia yang dihukum abadi." Puisi akhirnya menjadi "arsip paling gelap," rekaman melankolis yang lahir dari pertarungan antara kebencian dan cinta, ilusi dan realitas. Namun, justru dalam kegagalan inilah puisi menemukan kekhidmatannya: ia adalah cermin dari luka yang tak terucap, tetapi tetap dipentaskan dengan tegak—sebuah keberanian untuk mengarsipkan kegelapan sebagai bentuk perlawanan terhadap kepalsuan.#ardikamal #literasi #penulis #syair #monologue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #poetry #depresi #depression
Sebuah Puisi: Cinta (Bagian Ke-empat)Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini menggambarkan cinta yang terjalin dengan tekanan ekonomi dan ketidakpastian hidup. Receh yang "bergemerisik" dan "tabungan menguap dalam logam bisu" menjadi simbol keterbatasan materi yang menghantui hubungan. Pertanyaan seperti "Seberapa jauh rindu bisa ditimbang?" mengungkap kebingungan antara mengukur rasa dengan realitas pragmatis, di mana cinta harus berhadapan dengan kebutuhan hidup—seperti cicilan, biaya pernikahan, atau tuntutan keluarga. Bahkan harapan akan "selamanya" digambarkan seperti mie instan yang mengembang di air mendidih, metafora akan janji yang rapuh dan tak kunjung matang di tengah kesulitan finansial.Hubungan dalam puisi ini diwarnai oleh kesenjangan komunikasi dan keterasingan. Sang gadis yang "sibuk mengunyah kata-katanya tanpa menoleh" mencerminkan jarak emosional, sementara "Bahasa Ibu" yang hanya terdengar dalam gemerisik receh menandakan hilangnya identitas kultural di bawah desakan ekonomi. Gambaran "nasi bungkus setengah keras" versus "kamu" yang mungkin hidup lebih mapan, menegaskan perbedaan kelas sosial. Bioskop dan "ciuman berisik" dalam gelap hanyalah pelarian sementara dari kenyataan, sementara dialog yang "rontok di saku bolong" menjadi simbol janji-janji yang tak tersampaikan atau gagal diwujudkan.Puisi ini juga menyoroti tekanan sosial, terutama dari keluarga, untuk segera menikah dan "membebaskan" sang gadis melalui ikatan formal. Namun, sang aku lirik terbelenggu oleh "cicilan cinta yang menggunung", metafora tanggung jawab yang tak tertanggungkan. Buku usang yang "berderai seperti biji mangga tua" dan "damba yang dijual ke pasar loak" melambangkan impian yang terkikis, diulang-ulang tanpa hasil. Meski demikian, ia terus memungut harapan yang "tercecer" untuk dijadikan puisi atau kenangan—sebuah upaya menyulap keputusasaan menjadi seni, meski ia sadar ini hanya ilusi sementara sebelum kembali jatuh ke jalanan kehidupan yang keras.#ardikamal #literasi #penulis #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #patahhati #manusia #cinta #monologue
Sebuah Puisi: Cinta (Bagian Ke-tiga)Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini menggambarkan ketabahan seorang ibu yang menjalani hidup sederhana dengan pengorbanan tak terucap. Ibu digambarkan melakukan pekerjaan domestik yang melelahkan—seperti mencuci gelas di lantai kamar mandi, menggunakan ember dan sikat usang—tanpa mengeluh, sementara kemewahan atau kemajuan teknologi hanya menjadi angan. Ritual hariannya, seperti menonton sinetron untuk sekadar menangis diam-diam atau menikmati momen langka ke mall sebelum Lebaran, menjadi simbol pelarian dari beban hidup. Kehidupannya diabdikan untuk memastikan anak-anaknya tumbuh tanpa terbebani oleh nestapa yang ia rasakan, meski ia sendiri tak pernah merasakan "keindahan hidup" yang diidamkan.Puisi ini juga menyuarakan kegelisahan anak yang takut kehilangan sang ibu, sosok yang menjadi tumpuan harapan sekaligus pelindung dari kerasnya dunia. Ketakutan terbesar bukanlah kegelapan atau nasib buruk, melainkan saat ibu "tiba-tiba berhenti" setelah lelah berdoa dan bekerja. Momen-momen kecil, seperti es krim meleleh di mal atau senyum ibu yang tertahan, menjadi saksi betapa kebahagiaan mereka rapuh dan sementara. Namun, di balik itu, ada upaya untuk mengabadikan luka dan perjuangan ibu melalui puisi—sebagai cara melawan lupa, mengubah air seni dan air mata menjadi kata-kata yang dijual ke "pasar tak kasat mata", sekaligus mengukir warisan cinta yang tak lekang waktu.Puisi ini menegaskan bahwa cinta sejati tak memerlukan kata-kata indah, melainkan kehadiran tulus dalam kesederhanaan. Cinta ibu terlihat dari tangannya yang tak pernah berhenti bekerja, dari kesediaannya menahan air mata agar anak-anaknya tumbuh tanpa beban, dan dari doa-doa yang dipintal di sajadah usang. Penulis menolak meromantisasi penderitaan, tetapi justru mengangkatnya sebagai bukti ketangguhan dan kesetiaan. Puisi ini adalah penghormatan pada ibu yang "berpulang dengan lega", yakin bahwa anak-anaknya akan melanjutkan perjuangan dan cintanya—meski tanpa kehadirannya. Di sini, cinta bukanlah kisah sinetron bahagia, tetapi jejak langkah ibu di keramik mall yang menyilaukan, atau sikat cuci yang tetap setia di sudut kamar mandi.#ardikamal #literasi #penulis #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #patahhati #manusia #cinta #monologue
Sebuah Puisi: Ekdisis (Mlungsungi)Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaTulisan ini menggambarkan perjalanan batin yang penuh dengan luka, pertanyaan, dan pencarian makna. Kulit yang disebut sebagai "kota mati" melambangkan diri yang telah terkikis oleh pengalaman-pengalaman pahit, seolah-olah setiap selnya menjadi tembok rapuh yang menahan beban emosi dan keraguan. Penulis mempertanyakan apakah luka-luka yang dialami akan menjadi kekuatan ("sayap") atau hanya ilusi yang tak bermakna. Ritual "mlungsungi" (mungkin merujuk pada proses introspeksi atau pelepasan) dijelaskan sebagai kuburan tempat nama-nama masa lalu dikuburkan, seolah-olah identitas lama telah mati dan menjadi nisan yang bisu, tak lagi dikenang atau dihormati.Tubuh digambarkan sebagai pantai yang tercabik badai, dengan sungai-sungai yang mengalir ke masa lalu, membawa kenangan yang menyakitkan. Penulis berusaha melepaskan diri dari "kulit yang membatu," tetapi yang tersisa hanyalah bayang-bayang yang bersembunyi di antara hujan, merangkak seperti ulat, mencoba bertahan di antara retakan langit dan dahan-dahan yang menua. Gambaran ini melambangkan perjuangan untuk melepaskan diri dari masa lalu yang membebani, namun tetap terjebak dalam bayang-bayang yang tak bisa sepenuhnya dihilangkan.Di akhir tulisan, penulis merenungkan proses perubahan dan pelepasan diri, seperti ngengat yang memakan cahayanya sendiri atau ular yang mengganti kulitnya di laut beku. Laut itu diibaratkan ada di dalam dada, dengan gelombang suara yang akhirnya terdampar sebagai diam. Museum tubuh menjadi tempat bagi patung-patung yang belum selesai, simbol dari identitas yang terus berubah dan belum menemukan bentuk akhir. Tulisan ini diakhiri dengan gambaran tengkorak di tepi sungai, bukan sebagai kematian, melainkan sebagai "ekdisis terakhir" (proses pergantian kulit) dari perjuangan yang akhirnya menemukan henti. Penulis menyatakan bahwa semua ini dilakukan "demi puisi," seolah-olah puisi adalah cara untuk mengolah luka dan menemukan kedamaian dalam prosesnya.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #patahhati #manusia
Sebuah Puisi: Pause (Jeda)Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini menggambarkan kelelahan dan keputusasaan dalam menghadapi rutinitas hidup yang terasa seperti sistem teknis yang rusak. Kursor yang berkelap-kelip, sintaks error, dan hutang dalam "looping larik yang tak ada akhir" menjadi metafora untuk kebuntuan emosional dan finansial. Penulis merasa terjebak dalam siklus monoton—kerja yang tak membuahkan hasil, doa yang tak terjawab, dan mimpi yang terfragmentasi. Layar komputer yang redup dan sampah memori menjadi simbol kehidupan yang mandek, di mana harapan hanya tersimpan dalam "bahasa biner" (0 dan 1), mengisyaratkan ketidakmampuan untuk keluar dari keterpurukan.Ironi modernitas juga terasa kuat: upaya untuk bertahan justru berujung pada kehancuran diri. "Pop-up iklan kebahagiaan instan" yang tak bisa diklik, password yang salah ketik, serta "login ke malam-malam yang mengutuk" mencerminkan kegagalan mencari solusi di dunia digital yang semrawut. Bahkan kebutuhan dasar seperti air dan listrik pun menjadi beban ("keran bocor dan token listrik yang bernyanyi-nyanyi"). Hidup terasa seperti "bug yang tak kunjung rampung"—penuh kesalahan yang tak terselesaikan. Namun, di tengah kekacauan ini, ada upaya untuk merapikan "file-file" kehidupan, meski nama-namanya tak lagi dikenali, seperti usaha sia-sia untuk menemukan makna.Di balik kegelapan, puisi ini menyisipkan secercah harapan. Secangkir kopi dingin yang berbisik, "Jeda bukanlah akhir," menjadi simbol ketahanan. Meski sistem operasi hidup "usang" dan penuh error, ia bisa di-restart—proses berulang untuk bangkit dari keterpurukan. Air yang mengalir membawa "data usang" sekaligus mengingatkan bahwa jeda adalah ruang untuk bernapas dan merefleksikan "jejak error" sebagai pembelajaran. Penutupnya mengisyaratkan penerimaan: meski hati masih menunggu "buffer" yang terisi, ada syukur dalam pelan-pelan menyerup kopi, merangkul paradoks antara keputusasaan dan harapan yang terus menyala.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #patahhati #manusia #ular #gantikulit #mlungsungi #ekdisis
Sebuah Puisi: Tentang Luka Yang Dibungkus Kertas NotarisDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini mengkritik birokrasi dan sistem sosial yang mereduksi penderitaan manusia menjadi sekadar formalitas, diwakili oleh narator yang "mengetuk pintu-pintu, membawa puisi sebagai salam" sebagai upaya menyuarakan luka melalui seni yang justru ditolak penguasa. Sindiran terhadap elit yang mengabsahkan kesedihan lewat "sertifikat" metaforis dari "figur berkepala babi" mengejek legalisasi emosi oleh otoritas, sementara imaji "gigi emas" dan saham yang dikunyah mencitrakan keserakahan kelas berkuasa yang abai terhadap penderitaan tak terdokumentasi.Ketimpangan sosial dan ironi religius terasa dalam interaksi dengan ibu di stasiun yang memberi nasi bungkus sambil menyindir, "Tuhan sedang sibuk mengurus orang kaya"—sebuah kekecewaan terhadap ketidakadilan ilahiah dan sistemik yang mengabaikan kaum marginal. Kebaikan sederhana seperti nasi dalam plastik bekas yang "tak menagih utang" menjadi simbol harapan tulus yang bertolak belakang dengan dunia transaksional yang mengkomodifikasi segalanya, termasuk rasa sakit.Puisi menegaskan bahwa empati sejati lahir dari kesederhanaan, seperti tokoh ibu yang berbagi dalam keterbatasan, bukan dari formalitas kosong "kertas notaris" atau materialisme para pemilik "gigi emas". Pesannya adalah kritik pedas terhadap dehumanisasi penderitaan oleh birokrasi sekaligus penghormatan bagi kemanusiaan yang bertahan lewat kasih tulus, meski Tuhan "sibuk" dan dunia sibuk mengejar kekayaan.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia
Sebuah Puisi: Tentang Nama Yang Dipatok Di Kuburan KotaDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi Ardi Kamal Karima mengkritik materialisme dan ketimpangan sosial dalam kehidupan perkotaan melalui metafora tajam, menggambarkan kehidupan sebagai "pasar" transaksional di mana kepedulian direduksi menjadi "gemerisik lembaran di dompet". Narator sebagai "kuli" yang miskin diejek oleh elit—disimbolkan seperti "anjing menggonggong bayangannya sendiri"—menyingkap absurditas hierarki sosial: elit mengejar hal semu, sementara kelas pekerja terjebak dalam kemiskinan. Puisi ini juga menyoroti tergerusnya nilai keluarga oleh kapitalisme, lewat ironi nasihat ayah, "Jangan menangis di depan emas", yang berubah muram saat "emas" menjadi pagar nisan ibu—simbol materi yang mengubur humanisme. Spiritualitas yang tergerus industrialisasi tercermin dari doa yang "menguap jadi asap cerobong pabrik", sementara langit "berdasi" menegaskan alam yang tunduk pada struktur kota artifisial. Melalui simbol karung berlubang, debu di kuku, dan kemewahan di kuburan, puisi ini memprotes dehumanisasi yang mereduksi manusia menjadi sekadar nama di tengah kepalsuan sistem bermaterial. Dengan diksi puitis nan pedih, Karima mengajak pembaca merenungi makna hidup autentik di tengah dunia yang kian mekanistik.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia
Sebuah Puisi: Kesepian adalah satu-satunya yang tidak pernah pergiDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi Ardi Kamal Karima menggali kedalaman kesepian sebagai pengalaman yang abadi, melampaui siklus hubungan yang sementara. Narator menggambarkan dirinya melepaskan tangan dan wajah yang tak terhitung, melukiskan betapa relasi manusia hanya datang dengan janji palsu dan pergi dengan alasan yang diciptakan sendiri. Kesepian menjadi satu-satunya kepastian dalam hidupnya, seperti "bangsal kosong" yang pernah ramai oleh kehadiran semu. Metafora rumah sakit dan pasien yang tak lagi ditengok mengisyaratkan luka emosional yang tak kunjung sembuh, di mana setiap perpisahan hanya meninggalkan kekosongan. Narator terjebak dalam lingkaran jatuh cinta dan patah hati, menyadari bahwa cinta selalu menemukan jalan untuk pergi—tanpa perlu diajari—sehingga kesepian menjadi benteng pelarian dari rasa sakit yang berulang.Puisi ini juga mengkritik cara realitas material merasuk ke dalam hubungan intim, bahkan ketika narator berusaha menghindarinya. Uang, yang tak pernah ditulisnya dalam puisi, justru menyusup dalam percakapan paling personal, mengganggu kemurnian cinta. Narator merasa "miskin" secara emosional, tak mampu mencintai sepenuhnya, sementara orang lain memilih pergi ke pelaminan dengan sosok lain. Kontras antara idealisme cinta dan kenyataan hidup—seperti pengangguran di pesta pernikahan—menunjukkan betapa cinta sering dikalahkan oleh tuntutan duniawi. Kebodohan dan ketidakmampuan menawar nasib palsu mencerminkan kepasrahan narator terhadap ketidakberdayaannya dalam menghadapi realitas yang keras.Meski cinta gagal diwujudkan, puisi menjadi medium keabadian bagi narator. Awalnya, ia percaya cinta bisa diabadikan dalam sajak, tetapi pengalaman pahit membuatnya menyadari bahwa puisi tak lagi menciptakan cinta—ia justru melampaui diksi dan mimpi. Puisi hidup "untuk seribu tahun," menjadi saksi bisu kesepian yang tak tertulis. Di tengah keputusasaan, narator memilih kesepian sebagai jalan aman, menghindari menjadi penyebab kesengsaraan orang lain. Di sini, puisi bukan lagi alat romantisasi, melainkan ekspresi jujur dari luka yang tak terelakkan. Kesepian, meski pahit, menjadi kebenaran terakhir yang bertahan, sementara cinta dan kata-kata hanya tinggal sebagai jejak yang terus mengambang dalam ruang hampa.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia #syaircinta #cinta #patahhati #manusia
Sebuah Puisi: Pembunuh MimpiDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaKalian bisa menemukan saya : Https://instagram.com/__ardikarimaHttps://Twitter.com/Ardi_karimahttps://open.spotify.com/show/5qXSYrOqMP6CTAhXuSNdYd?si=C6V-ngF6Q9W7pjoOBdgeEQhttps://www.tiktok.com/@__ardikamal?_t=8mNxLI8EuZU&_r=1#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia
Sebuah Puisi: Surat-Surat Yang Tak pernah Sampai Ke LangitDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi ini menyoroti ketimpangan sosial dan kekuasaan yang korup melalui metafora yang tajam. Bagian I dan II menggambarkan tubuh penyair sebagai "kambing hitam" yang dijual di "pasar kata-kata," simbol marginalisasi kaum lemah oleh sistem yang didominasi "kasta kekayaan." Doa-doa yang tercecer seperti receh di selokan dan kata "peduli" yang mati dalam kamus penguasa mencerminkan hilangnya empati di tengah hegemoni materialisme. Penguasa digambarkan sebagai "berhala berdasi" yang menimbang hati dengan "karat emas," menegaskan kritik terhadap oligarki yang mengubah nilai kemanusiaan menjadi transaksi ekonomi. Puisi ini mengecam dunia di mana luka dan jeritan rakyat kecil dianggap tak layak jadi jaminan, sementara kekuasaan menari di atas meja tulis Tuhan.Puisi ini juga menyuarakan kegagalan komunikasi dengan yang transenden, di mana surat-surat penyair tak sampai ke langit. Bagian IV dan VI mengilustrasikan kesendirian sebagai "kamar tanpa jendela," di mana Tuhan diam menghitung "tiket kehancuran" penyair, seolah-Ilahi tak peduli atau sibuk mengatur pesta oligarki di "pusat neraka." Doa dan keluh yang ditulis di "kertas basah hujan asam" hanya dirobek angin menjadi kembang api gagal, simbol harapan yang pudar. Bahkan kematian orang tua (Bagian III) hanya meninggalkan surat yang "termakan cahaya dan bayang" orang lalu-lalang, menegaskan betapa jeritan manusia tersapu dalam kesibukan dunia yang apatis. Tuhan di sini bukan figur penolong, melainkan hakim yang membagi surga dengan "golok tajam," mencerminkan krisis spiritual dan hilangnya kepercayaan pada keadilan ilahi.Di tengah kepedihan, puisi ini merangkul paradoks sebagai bentuk resistensi. Bagian VII mengungkap keinginan penyair menjadi "pohon tumbuh terbalik"—akar menjulang ke langit, daun menyentuh bumi—simbol pembalikan tatanan yang timpang. Ini adalah upaya menemukan makna di dunia di mana "surga sudah dibagi-bagi" dengan kekerasan, dan hidup-mati saling bertaut dalam ironi: "hidup yang mematikan" versus "mati yang menghidupkan." Bahkan ketulusan (Bagian V) yang membusuk di sampah menjadi renungan tentang kemanusiaan yang terperangkap antara sifat binatang dan manusia. Puisi ini menutup dengan pertanyaan eksistensial: apakah kehancuran hanyalah ritual rutin akhir pekan? Di balik kepahitan, tersirat upaya untuk tetap bernyawa melalui kata-kata, meski surat-surat itu tak pernah sampai.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia
Sebuah Dialog: Titik Yang Tak Pernah FinalDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaTulisan ini menegaskan bahwa nilai tertinggi bukan terletak pada keberhasilan, melainkan pada kesungguhan dalam bertindak. Narator meminta pembaca untuk tidak membaca namanya, tetapi "luka di telapak kaki" yang merepresentasi perjalanan dan usaha menyelamatkan mawar dari kebakaran. Metafora ini menyiratkan bahwa upaya penyelamatan itu sendiri—meski mungkin gagal—adalah bentuk perlawanan terhadap finalitas. Seperti api yang terus menyala, proses tersebut menjadi simbol ketulusan dan keberanian menghadapi ketidakpastian. Hasil akhir (apakah mawar selamat atau tidak) sengaja diabaikan, karena puisi ingin menekankan bahwa makna hidup terletak pada kebertahanan, bukan pencapaian yang rigid.Penggunaan metafora alam (kebakaran hutan, mawar) menggarisbawahi pertarungan abadi antara kehancuran dan harapan. Kebakaran hutan bisa dilihat sebagai fenomena alam yang netral—ia menghancurkan, tetapi juga memurnikan. Api disebut "tulus" karena ia jujur pada sifat dasarnya: membakar tanpa pretensi. Namun, ambivalensi muncul ketika api dihadapkan pada upaya manusia (menyelamatkan mawar). Di satu sisi, api adalah musuh; di sisi lain, ia mengingatkan manusia tentang realitas mentah yang tak terbantahkan. Mawar, sebagai simbol keindahan atau cita-cita, hanya bisa dimaknai ketika ada upaya menyelamatkannya, sekalipun lingkungan sekitar sudah hancur. Ini mencerminkan siklus alamiah di mana manusia terus bergulat antara keputusasaan dan tekad.Tulisan ini juga mengandung kritik halus terhadap kecenderungan manusia terjebak dalam kata-kata ("sajak-sajak yang gagal"). Penyair mempertanyakan: apakah karya seni atau ekspresi manusia cukup berarti ketika dihadapkan pada realitas keras seperti api? Nama yang tak perlu dibaca kontras dengan luka di kaki—simbol pengalaman nyata yang tak terucapkan. Api yang "tulus" bisa dibaca sebagai ironi: kehancuran justru lebih jujur daripada upaya manusia yang sering dipenuhi ilusi. Namun, ambiguitas ini sengaja dipertahankan untuk menolak jawaban final. Judul "Titik yang Tak Pernah Final" merangkum semangat ini: hidup adalah rangkaian pertanyaan yang terus bergulir, bukan jawaban yang paten. Kegagalan pun menjadi saksi atas keberanian manusia untuk tetap bergerak dalam ketidaktahuan.#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia
Sebuah Dialog: Tentang Tuhan Yang Bermain CaturDengan ReruntuhanDitulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaTulisan ini menggambarkan kehidupan sebagai papan catur yang retak, di mana manusia hanyalah bidak-bidak rapuh seperti daun yang diinjak roda sistem besar. Metafora "langkah-Nya terlalu cepat, tertukar dengan algoritma lalu lintas" menyiratkan ketidakberdayaan manusia di tengah percepatan modernitas yang dikendalikan oleh teknologi dan struktur tak kasatmata. Pertanyaan seperti "Apa arti 'skak mat' bila kita semua cuma pion yang dicat jadi ratu?" mengejek ilusi kekuasaan manusia, yang meski merasa menjadi "ratu", tetap terjebak dalam permainan hierarki sosial yang tak adil. Bahkan langkah-langkah hidup seolah direduksi menjadi data yang diatur oleh kekuatan di luar kendali manusia.Tulisan ini menelanjangi bagaimana agama dan penderitaan dijadikan komoditas. Gereja yang "menjual tisu saat air mata gratis" mengkritik institusi keagamaan yang memanfaatkan kesedihan untuk keuntungan, sementara "perusahaan asuransi yang menjanjikan langit tanpa badai" menyindir kapitalisme yang menawarkan keselamatan palsu. Billboard dianggap sebagai "altar baru", mencerminkan penyembahan terhadap konsumerisme, di mana Tuhan digambarkan sebagai "kurator di museum ilusi"—entitas yang jauh, sibuk mengurusi citra ketimbang substansi. Pertanyaan "Berapa harga tiket untuk duduk di barisan depan?" mengejek komersialisasi iman, di mana kedekatan dengan Yang Ilmu dijual layak barang dagangan.Tulisan ini diwarnai kegelisahan akan ketidakpastian hidup dan keheningan langit yang tak merespons. Gambaran "doa-doa terjebak di lift gedung pencakar langit" atau "Tuhan sedang rapat menentukan nasib" menyindir birokrasi ilahi yang dingin dan tak terjangkau. Tokoh seperti tunawisma yang menyebut surga sebagai "stasiun terakhir yang tak perlu ongkos" atau pilot yang melihat surga sebagai "zona waktu berbeda" mencerminkan kerinduan akan makna yang sederhana, jauh dari kompleksitas dunia. Pertanyaan repetitif seperti "bolehkah kita menuntut ganti rugi?" dan "jam berapa kita bisa klaim tuntutan?" mengekspresikan kekecewaan manusia terhadap ketidakhadiran jawaban, sekaligus ironi bahwa pada akhirnya, "kita hanya punya tombol berjalan"—simbol penerimaan pasrah dalam ketidakberdayaan.Ardi Kamal Karima#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair
Sebuah Puisi: Cinta (Bagian Kedua)Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal KarimaPuisi "CINTA (Bagian Kedua)" menggunakan metafora-metafora sehari-hari yang absurd dan sarat simbol untuk menggambarkan kompleksitas cinta yang rusak, stagnan, dan penuh nostalgia. Kloset mampet, pipa tua, sampah basah, dan bak mandi yang berubah menjadi lautan "usang" menjadi alegori tentang hubungan yang tak lagi mengalir, tersumbat oleh kenangan, kekecewaan, dan upaya sia-sia untuk memperbaiki yang sudah retak. Kata-kata seperti "pasta rindu yang kadaluarsa" atau "katalog doa-doa yang belum terjawab" menegaskan betapa cinta di sini dihadapkan pada hal-hal usang, keinginan yang tertahan, dan komunikasi yang gagal. Bahkan upaya romantis seperti mencari "cincin yang jatuh" berubah jadi tragedi ketika yang ditemukan justru kehancuran ekosistem cinta: garam yang "bercerai" dan ikan yang "berpuasa", menggambarkan keterpisahan dan kelaparan emosional.Puisi ini juga menyoroti ketidakmampuan untuk melepaskan masa lalu, diwakili oleh gambaran "plankton-plankton / mengeja nama mantan" atau "danau bekas mandi bunga / yang merindukan tubuh-tubuh (tak berbusa)". Air, yang semestinya membersihkan atau menghidupkan, justru menjadi medium penuh limbah kenangan. Pipa-pipa besi yang "mengubur dirinya diam-diam" dan "tikus-tikus kosong yang mulai serakah" menyimbolkan hasrat yang terkubur atau dikorupsi oleh waktu. Penyair seolah mengatakan bahwa cinta yang tak dirawat akan berubah menjadi saluran pembuangan—tempat di mana segala sisa-sia emosi mengendap dan meracuni. Akhirnya, puisi ini bukan hanya menjadi kritik pada cinta yang gagal, tapi juga refleksi pilu tentang bagaimana manusia sering terjebak dalam siklus merindukan sesuatu yang sudah kehilangan esensinya, seperti tubuh yang "tak berbusa", tanpa gairah atau kejutan.#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #cinta #puisicinta #syair #syaircinta