(read: hes-boi rids) - A podcast runs by Hestia Istiviani. Talk about book, literature, library science, and everything in between. Reachable through Twitter (@hzboy) and Instagram (@hzboy1906).
Novel yang masuk dalam Nomine Pengahargaaan Sastra 2021 ini memang tidak main-main. Bagi Hestia, Lebih Senyap dari Bisikan memunculkan diskusi yang tidak bisa dibahas dalam 150 halaman. Sedangkan bagi Hasyemi, berkeluarga bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan hanya untuk membungkam ocehan tetangga. Dalam obrolan "santai" sepanjang hampir 1 jam ini, hzboy x hasyemiraws menceritakan pengalaman bacanya masing-masing tentang apa itu komitmen berkeluarga hingga perlukah laki-laki ikut membaca dan membahas perihal rumah tangga.
Hello! Setelah sempat tidak ada kabarnya hampir setahun, kali ini Hzboy Reads kembali lagi dengan musim baru. Tidak sendirian, melainkan sudah membawa partner diskusi (alias nodong) membahas buku-buku yang kami baca. Selamat menikmati!
Bukan. Judulnya nggak ada hubungannya dengan bukunya Yuval Noah Harari. 21 Books in 2021 adalah tantangan baca yang dipasang oleh Hestia untuk dirinya sendiri. Di dalamnya terdiri dari 13 judul buku non fiksi dan 8 buku fiksi. Episode kali ini juga merupakan penutup dari musim kedua Hzboy Reads Podcast. Setelah berkomitmen kepada diri sendiri untuk menghidupkan kembali siniar yang sempat berdebu, tantangan 30 Hari Bersuara yang dicanangkan oleh The Podcaster Indonesia seakan menjadi api motivasi. Terima kasih kepada siapapun yang meluangkan waktu untuk mendengar ocehan monolog soal buku (dan hal-hal lainnya). Sampai berjumpa di musim ketiga!
Di akhir tahun ada kebiasaan yang Hestia lakukan: mengecek apakah target bacanya berhasil dipenuhi. Tahun 2020 yang tiba-tiba membawa plot twist, rupanya target baca bisa selesai dengan waktu yang lebih cepat. Selain itu, Hestia juga menemukan hal baru karena melakukan reading track sepanjang tahun. Apa saja itu? Bagaimana hasil tracking-nya bisa membantunya dalam memahami dirinya sendiri?
"Move on" tidak hanya terjadi partner saja. Bisa juga terjadi dengan bacaan. Tentunya pembaca pasti punya beberapa judul yang membuat mereka susah untuk move on ke bacaan baru. Atau istilahnya, "merasa hangover." Bagaimana dengan Hestia? Buku apa sajakah itu?
Pasti pernah membaca buku yang tulisannya indah, narasinya cantik, tokohnya lovable sehingga membacanya pun perlahan agar tidak lekas selesai. Hestia pun juga punya 3 judul yang membuat ia membatasi progres bacanya, lho!
Setelah membicarakan tentang kekalahan, kini saatnya membahas tentang "kemenangan." Apa-apa saja sih yang kemenangan yang dirasakan oleh Hestia selama hidup sebagai Bookdragon?
Sebagai orang yang suka membaca buku, ada perasaan senang ketika bisa dan berhasil menyelesaikan bacaannya. Tetapi, bagaimana jika kita tidak berhasil membaca sampai halaman terkhir? Apakah kita gagal dan kalah? Dalam episode ke-25 yang masih merupakan bagian dari tantangan 30 Hari Bersuara by The Podcasters Indonesia, Hestia membahas bagaimana kita sebaiknya menyikapi kegiatan membaca yang seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan ini.
Yang namanya mantan, bisanya memang susah dilupakan. Termasuk buku-buku bacaan yang dibilang bagus olehnya. Dalam episode bertema "mantan" kali ini, Hestia bercerita 3 buku yang ingin dia baca gara-gara mantannya memberikan rating yang bagus. Apa saja itu?
Sepanjang menjadi seorang yang suka membaca buku, ternyata Hestia menyesal dengan 3 hal ini. Well, apakah dia berhasil overcome it? Episode ini masih merupakan bagian dari tantangan 30 Hari Bersuara by The Podcasters Indonesia.
Kalau membahas tentang kematian dan novel fiksi, yang paling mudah diingat oleh Hestia adalah All the Bright Places karya Jennifer Niven. Kok bisa?
Meskipun gemar membaca, rupanya ada hal-hal yang ia sendiri tutup-tutupi sebagai self-claimed Bookdragon: soal penulis yang ia tidak cocok, soal mengalami reading slump, dan soal jajan e-book reader. Sejalan dengan tema hari ke-21 dari tantangan 30 Hari Bersuara by The Podcaster Indonesia, Hestia melakukan "pengakuan" dosa.
Melalui tema "inspirasi", Hestia menceritakan mengapa 3 bookdragon ini dianggap memberikan inspirasi untuknya. Mereka adalah Devina (twitter/ig: devinayo), Griss (twitter/ig: imgriss), dan Sintia (twitter: sintiaastarina / ig: sintiawithbooks). Ketiga bookdragon ini lah yang membuatnya tetap nyaman membagikan cerita dan pengalaman seputar buku dan literasi.
Mendengar kata "tradisi" seringkali dianggap sebagai suatu hal yang sudah tidak relevan di zaman 4.0 ini. Katanya sih, kuno. Padahal ternyata kita tetap saja bersisian dengan tradisi itu. Seperti yang ditulis oleh Titah AW dalam kumpulan reportasenya yang diberi judul Parade Hantu Siang Bolong. Ada 16 artikel yang seru untuk dibaca. Memperkenalkan pembaca dengan apa penulisan jurnalisme-sastrawi.
Setiap akhir pekan, Hestia selalu punya agenda untuk membaca buku di kedai kopi. Baginya, ada sesuatu yang berbeda yang dihadirkan dalam sebuah kedai kopi--yang tidak bisa ditemukan di rumah atau kamarnya sekalipun. Episode ini merupakan pengembangan dari tema hari ke-18 tantangan 30 Hari Bersuara by The Podcasters Indonesia: Makanan/Minuman.
Kata "liburan" sering kali diasosiasikan dengan perasaan menyenangkan. Bagaimana jika "liburan" menjadi sebuah kata yang malah membawa kesan suram? Itulah yang dihadirkan oleh E. Lockhart melalui novelnya berjudul "We Were Liars." Bergenre young adult, "We Were Liars" membawa pembaca pada sebuah musim panas di suatu pulau dengan empat anak remaja tanggung. Siapa yang sangka, di antara remaja itu ada kebohongan yang dengan rapi disusun. Liburan memang tidak selamanya menyenangkan.
Tema "mudik" dari 30 Hari Bersuara membuat Hestia teringat akan buku Semasa yang ditulis oleh pasangan POST Bookshop: Teddy dan Maesy. Disajikan dengan hangat, Semasa mengajak pembaca untuk "walking down the memory lane". Meskipun menghadapi masalah seiring bertambahnya usia. bukan berarti kenangan-kenangan indah di masa kecil terlupakan begitu saja.
Sebagai seorang Bookdragon, Hestia merasa tidak pernah memiliki batas atas atau limit untuk membeli buku. Apa yang dia mau, bisa saja langsung dibeli. Namun ada satu hal yang membuat dia merasa perlu melakukan Book-Buying Ban atau tidak membeli buku sama sekali. Apakah itu? Apakah ia bisa melakukannya?
Tema hari keempat belas, "self-love" memiliki kesan personal tersendiri bagi Hestia. Setelah drama percintaannya di tahun 2019 dan usahanya untuk bangkit kembali di tahuhn 2020, Hestia menemukan bahwa agar bisa menyayangi orang lain maka ia harus menyayangi dirinya sendiri terlebih dulu.
Pemuja rahasia zaman sekarang lebih sering diasosiasikan dengan mereka yang mengamati dari jauh melalui akun media sosial. Ada yang berani mengikuti akunnya, ada pula yang hanya melihatnya melalui akun orang lain. Bahkan ada juga yang tidak "log in" untuk mengamati sosok yang ia kagumi. Di balik tema ke-13 dari tantangan 30 Hari Bersuara by The Podcasters Indonesia, Tell Me Three Things mengingatkan Hestia terhadap konsep "pemuja rahasia." Sebagai salah satu buku young adult, Tell Me Three Things menceritakan bagaimana sebuah surel membuat si penerimanya malah merasa terbantu untuk beradaptasi di lingkungan baru meskipun itu berarti mereka tidak akan pernah untuk berkenalan secara langsung. Sebab, menurut mereka, tatap muka bisa saja mengubah interaksi yang sudah mereka jalin selama ini melalui surel.
Menjadi bucin juga terjadi kepada pembaca. Seperti Hestia misalnya. Bucin terhadap penulis menjadikannya langsung membeli karya-karya penulis yang ia sukai. Siapa sajakah mereka?
Persimpangan yang dekat dengan kita adalah pilihan untuk menerima diri atau malah mencoba untuk bersikap "denial" dengan keadaan. Sangat sering terjadi, ada perasaan dendam terhadap masa lalu yang masih kita bawa hingga sekarang. Pada bukunya yang berjudul Love for Imperfect Things, Haemin Sunim membahas mengenai pentingnya mencintai diri sendiri sebelum akhirnya orang lain bisa mencintai diri kita juga. Sama halnya dengan berada di persimpangan, jangan sampai kita malah lupa diri kita sendiri hanya karena melihat orang lain yang tampak lebih sukses/cantik/kaya dari kita.
Berkat buku dan hidup di era internet, pertemanan pun bisa dengan mudah terjalin. Acara-acara perbukuan yang mulai menjamur bisa dijadikan lahan basah untuk mendapatkan kenalan baru. Kalimat pembuka percakapannya tentu saja dari buku-buku. Dan bukanlah hal yang tidak mungkin jika karena buku, bisa punya teman dekat. Hari ke-10 dari tantangan 30 Hari Bersuara bertemakan "Pertemanan" menceritakan pengalaman Hestia tentang berteman karena buku.
Tulisan Agatha Christie mungkin terasa aneh jika dijadikan bacaan keluarga. Tapi itu benar terjadi. Ten Little Niggers atau And Then There Were None adalah karya Agatha Christie yang akhirnya dibaca oleh seluruh keluarga. Bukan karena paksaan, melainkan karena saling merekomendasikan sesama anggota kelurga. Ibu merekomendasikan kepada anak dan akhirnya sang ayah pun juga ikut tergoda untuk mencoba membacanya. Episode ini merupakan episide ke-9 dari rangkaian tantangan 30 Hari Bersuara by The Podcasters Indonesia dengan tema "keluarga."
Bertemakan "Pasangan" di hari kedelapan dari rangkaian tantangan 30 Hari Bersuara by The Podcasters Indonesia ini mari kita bahas buku Konbini Ningen. Cerita tentang Keiko yang merasa terusik karena bagi orang-orang di luar "konbini" atau minimarket, Keiko yang tidak segera memiliki pasangan merupakan hal yang aneh. Bahkan Keiko dianggap aib oleh keluarganya sendiri. Perihal hidup sendiri seperti Keiko dan cibiran mengenai tidak segera mendapat pasangan juga terjadi di Indonesia. Tetapi, pernah kita menyadari bahwa pertanyaan sepele seperti, "mana pacarnya?" atau "gimana kisah cintamu?" membuat orang lain kurang nyaman?
Berkat tuntutan skripsi yang menggunakan buku trilogi The Hunger Games, rasa penasaran terhadap buku-buku distopia klasik pun muncul. Dari sanalah, pendekatan terhadap genre distopia dimulai. Dari 1984 milik Orwell, The Handmaid's Tale-nya Atwood, hingga Fahrenheit 451 karya Ray Bradburry. Tema hari ketujuh tantangan 30 Hari Bersuara by The Podcasters Indonesia: PDKT.
Belum cocok dengan satu penulis tertentu bukan berarti tidak akan menemukan tulisan yang pas. Dengan eksplorasi, kita bisa berjumpa dengan penulis yang namanya asing namun rupanya tulisannya sesuai dengan minat kita. Holy Mother karya Akiyoshi Rikako mengantarkan pada perkenalan dengan penulis Jepang perempuan lain seperti Minato Kanae. Episode keenam ini mengangkat tema "Perjumpaan."
Manusia yang memang makhluk yang tidak pernah puas rasanya perlu untuk mengendalikan pikirannya. Memahami bahwa setiap kali ada keinginan, perlu ditilik ulang apakah benar itu yang dibutuhkan atau cuma sebatas dorongan emosi yang impulsif. Buku Into the Magic Shop yang ditulis oleh James R. Doty mengajak pembaca untuk mengevaluasi keinginan kita. Betulkan itu yang terbaik atau jangan-jangan keinginan itu muncul karena tuntutan dari keadaan sosial. Episode kelima ini mengangkat tema "keinginan" dan masih menjadi rangkaian dari tantangan #30HariBersuara by The Podcasters Indonesia.
Membahas tentang "rencana" bagaimana kalau dikaitkan dengan kematian? Bagaimana sih manusia sebaiknya membekali diri untuk mempersiapkan ajalnya? Melalui buku "How to Die" Seneca menekankan bahwa manusia hendaknya menemukan kerjaan dalam dirinya sendiri semata-mata agar kematiannya tidaklah sia-sia. Dalam episode ini, dibahas betapa pentingnya memahami diri sendiri untuk merencanakan kehidupan yang bisa menyambut kematian dengan suka cita.
This Changes Everything merupakan buku karya Naomi Klein yang terbit tahun 2014. Buku itu secara blak-blakan membuka bagaimana kapitalisme berusaha menekan narasi global warming yang coba digaungkan oleh para aktivitas lingkungan dan ilmuwan. Membaca This Changes Everything membawa kepada sebuah keputusan bahwa tidak bisa kita diam saja. Sebagai konsumen, rasanya perlu untuk menjadi kritis hingga bersusah-susah mencari tahu ada apa di balik produk yang kita konsumsi. Apakah benar melalui proses yang "green" atau malah hanya menggunakan label tersebut untuk mendongkrak keuntungan saja? Episode ketiga musim kedua dari Hzboy Reads Podcast merupakan bagian dari tantangan #30HariBersuara by The Podcasters Indonesia dengan tema hari tiga: keputusan.
Kalau bukan gara-gara buku kumpulan esai-nya Stephen Hawking yang berjudul Brief Answers to the Big Questions, barangkali rasa penasaran yang kemudian tumbuh menjadi rasa ingin belajar tidak akan pernah muncul. Meski dulu sempat skeptis untuk bisa memahami tulisannya Hawking, nyatanya berkat esai tersebut malah tertarik untuk mempelajari banyak hal. Yes, hari kedua dari #30HariBersuara dengan tema Awal Mula diisi dengan bahasan tentang pemantik untuk terus belajar meski sudah lulus kuliah.
Membahas buku Sabtu Bersama Bapak sepertinya tidak bisa lepas dengan sosok ayah yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Tentang bagaimana menghabiskan waktu bersamanya yang kini benar terasa seperti sebuah momen yang taken for granted. Pada episode kali ini, bersamaan dengan hari pertama #30HariBersuara dari The Podcaster Indonesia, mari kita awali saja dengan topik yang berkaitan dengan "hari lahir."
Book-shaming itu nggak pernah ada habisnya. Dari yang awalnya komentarin genre bacaan, bisa sampai komentarin pengalaman membaca. Padahal, yang namanya membaca tuh seharusnya mendatangkan kenikmatan. Bukan untuk membuktikan sesuatu ataupun memenuhi standar tertentu. Episode kali ini ingin mengingatkan untuk mengapresiasi adanya perbedaan dalam pengalaman membaca. Sama seperti sidik jari manusia, pengalaman membaca setiap orang tidak ada yang sama. Kok bisa sih?
Selama ini, terminologi "personal branding" selalu lekat dengan kesan "pencitraan." Ditambah pula dengan keberadaan para "influencer" yang makin menjamur seiring dengan berkembangnya teknologi dan fitur-fitur media sosial. Bersama dengan Arijal Hadiyan, seorang ilustrator, episode kali ini membahas tentang "personal branding" yang kemudian apabila dilihat lagi, menjadi salah satu hal penting bagi anak muda. Terutama soal menyelaraskan visi dan misi hidup. Bedanya, Arijal mengaitkan membangun "personal branding" dengan kematian. Memangnya ada ya caranya? Arijal Hadiyan bisa dikontak melalui instagram (at)arijalhadiyan
Selamat Hari Buku Nasional! Setiap tanggal 17 Mei di Indonesia diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Di episode ini, Hzboy Reads Podcast (sekaligus Baca Bareng) diajak berbincang oleh Renjana Project (atau Podcast Suar Renjana). Kami membahas tentang salah satu stakeholder dalam dunia literasi di Indonesia yakni klub buku. Kehadiran klub buku membantu pertumbuhan literasi di tanah air. Ragamnya pun banyak sekali. Mau yang daring (online) atau luring (offline), semuanya punya keunikan masing-masing. Kami juga mendiskusikan, mengapa ya masih sedikit orang yang mau membaca buku? Sesi ini berlangsung pada 15 Mei 2020 melalui kanal Instagram LIVE.
Bagaimana sih rasanya tumbuh besar di dalam keluarga yang suka baca buku? Well, kami bertiga berbagi kisah tentang pengalaman bertumbuh dengan buku dan komik. Termasuk di dalamnya, pengalaman kurang menyenangkan yang pernah kami terima karena stigma-stigma yang ada terhadap para pembaca buku. Bagaimana tidak? Salah satu dari mereka sudah menuntaskan membaca Second Sex (tulisan Simon de Beauvoir) ketika belum berusia 22 tahun. Satu lagi, sudah membaca buku Your Passion is not Your Career (tulisan Rene Suhardono) ketika masih di bangku SMP. Semasa sekolah mereka juga punya kebiasaan yang sama: menghabiskan waktu istirahat siang di perpustakaan alih-alih ikut bergosip di koridor. Yuk, kenalan dengan Safira (@safirasiwi) dan Nabila (@naabilaputri) tentang kebiasaan membaca mereka!
Wawancara Teman Sendiri (WTS) merupakan proyek kreatif dari Abu--seorang filmmaker asal Surabaya--untuk dapat mengenal lebih dekat teman-teman di sekitarnya. Versi aslinya berupa video dan dipublikasikan melalui kanal media sosialnya. Pertemuan dengan Abu pertama kali akibat kami berada dalam satu organisasi yang membesarkan kami berdua: Surabaya Youth. Meskipun berbeda jurusan dan kampus, ternyata kami punya ketertarikan yang unik dan itulah yang membuat kami bisa membangun obrolan penuh trivia. Dalam WTS kali ini, Abu menggali banyak hal dan berdurasi hampir 2 jam. Namun, telah disederhanakan menjadi dua poin pertanyaan: tentang Instagram Story dan juga tentang apa yang dinginkan untuk masa depan. (Rekaman dilakukan di Dua Coffee, Cipete - Jakarta Selatan pada 23 Februari 2020). Catatan: isinya terdengar sombong dan arogan karena membicarakan tentang ambisi-ambisi.
Sebagai pengguna Kobo, sebuah e-book reader produksi Rakuten, sering sekali menerima pertanyaan, "Apa bedanya dengan membaca di tablet? Apa bedanya dengan (Amazon) Kindle?" Bagi pembaca buku (avid reader), memiliki e-book reader menjadi sebuah keuntungan. Kami bisa membaca apapun dimanapun tanpa terkendala pengiriman (shipping cost atau delivery time). Dalam episode kali ini, ada seorang pengguna Kindle sekaligus teman karib, Devina Yo yang berbagi pengalamannya selama menggunakan e-book reader tersebut. Devina bahkan juga berbagi info dan tips untuk dapat membaca buku yang legal lo! Salah satunya adalah dengan cara melakukan peminjaman di perpustakaan menggunakan fasilitas Overdrive (baca selengkapnya di blog Devina: https://dvnheriyanto.wordpress.com/2019/10/19/cara-pakai-overdrive-untuk-pengguna-indonesia/). Rupa-rupanya, fasilitas e-book reader tidak hanya sebatas pembaca buku digital. Masih ada keuntungan lain yang membuat kegiatan membaca jadi lebih menyenangkan. Jadi, masih berpikir untuk membeli e-book reader?
Menanggapi bagaimana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim, terkait membangun sikap cinta membaca, gue terpelatuk untuk berbagi opini. Apa yang disampaikan oleh Mas Nadiem ternyata yang dilakukan oleh orang tua gue selama ini. Selain itu, Mas Nadiem juga menyarankan agar kita tidak menghakimi orang dari apa yang mereka baca. Sebab, penghakiman bisa menjadi sebuah peluru yang ujungnya mendemotivasi seseorang untuk melanjutkan membaca buku. Sedangkan dari kacamata gue sendiri, kegiatan membaca seharusnya menjadi escape plane yang paling bisa dilakukan. Badan diam di tempat, tapi pikiran dan imajinasi bisa menjelajah menembus ruang dan waktu.
Mendapat undangan untuk hadir dalam agenda rutin IDN Media yakni Indonesia Millennial Summit membuat gue berkesempatan untuk duduk dalam panel Medikbud Nadiem Makarim. Dipandu oleh Uni Lubis (Editor in Chief IDN Times), Mas Nadiem Makarim berbicara mengenai Education 4.0: Building Human Resources for the Future. Menggunakan pendekatan start-up, Mendikbud ingin mengubah budaya dalam institusi pendidikan yang sebelumnya lebih banyak pada budaya administratif (seperti membuat rencane mengajar) menjadi budaya belajar (learning culture). Mendorong siswanya untuk belajar melalui failing fast and do corrective actions. Yang tidak kalah menarik, Mendikbud juga berbagi pandangan mengenai menumbuhkan minat baca masyarakat. Oh dan tidak ketinggalan, tanggapan Mendikbud tentang kerjasamanya dengan Netflix.
Bulan Desember selalu identik dengan penutup tahun. Ada yang melakukan evaluasi, ada juga yang langsung membuat resolusi. Tetapi selain itu, bulan Desember di Indonesia juga lekat dengan dua agenda: Hari Perjuangan Perempuan (atau Hari Ibu - 22 Desember) dan Hari Natal (25 Desember). Dalam episode kali ini, gue mencoba mengombinasi dan mengolaborasi dua agenda tersebut menjadi sebuah rekomendasi bacaan akhir tahun. Alias, bisa menjadi opsi bacaan kalau teman-teman lebih memilih untuk liburan edisi introvert. Apa saja bukunya?
Beberapa waktu lalu, judul buku "Kim Ji-Yeong Lahir 1982" sempat mencuat di lini masa media sosial. Salah satunya adalah karena ada idol K-Pop yang menunggah bahwa dirinya sedang membaca buku tersebut. Hal itu memicu banyak reaksi dari masyarakat Korea Selatan sekaligus membuka tabir lain di balik gemerlap kecanggihan teknologi yang mereka miliki: budaya patriarki yang masih sangat kuat. Melalui "Kim Ji-Yeong, Lahir 1982" penulis Cho Nam-Joo dan sutradara Kim Do-Young ingin mengusik tatanan masyarakat Korea Selatan. Bahwa perempuan juga manusia yang memiliki otoritas penuh terhadap dirinya. Dan apa yang dirasakan oleh Kim Ji-Yeong juga dirasakan oleh perempuan di Indonesia (atau bahkan di seluruh dunia). No wonder, banyak yang merekomendasikan judul ini untuk tidak sekadar dinikmati, tetapi juga diresapi dan dipahami. Agar praktik patriarki bisa dikurangi. Catatan: opini-opini gue yang ada di dalam episode ini bersifat pribadi.
Sebagai salah satu festival literasi berskala internasional, Ubud Writers and Readers Festival tahun ini sudah memasuki tahun ke-16. Mendaku seorang bookdragon, sejak kuliah gue punya tekad untuk mampir ke UWRF barang sekali selama hidup. Ta-da! I made it! Sebagai "UWRF virgin" (begitulah kami menyebut orang-orang yang baru pertama kali ke UWRF) ternyata sebagai seorang volunteer. Tentu, ada banyak cerita asyik dan seru seputar menjadi relawan bersama multicultural volunteers. Eh, tapi ternyata, gue ga cuman diberi satu peran aja. Malah double job. Kok bisa, Hz?
Sejak tahun 1989, Dewan Kesenian Jakarta selalu menghelat Pidato Kebudayaan sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Taman Ismail Marzuki. Diundangnya tokoh nasional untuk membahas mengenai isu di Indonesia yang kemudian dibahas dalam perspektif kebudayaan. Tahun ini, setia di tanggal 10 November, Dewan Kesenian Jakarta menghadirkan Seno Gumira Ajidarma - sastrawan legendaris Tanah Air - untuk menjadi penyaji pidato. Dalam tajuk "Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi" SGA (begitu gue menyebutnya) membahas banyak aspek. Dari makna kebenaran, kepunahan bahasa, hingga kepanikan moral akibat embel-embel 4.0.
Hai! Sebagai pemain baru di dunia podcast, izinkan gue untuk memperkenalkan diri dan kasih sedikit informasi tentang topik yang akan gue bahas menggunakan kanal ini. Kalau punya masukan topik, silakan colek gue di Twitter @hzboy atau Instagram @hzboy1906.