President of Indonesia from 1967 to 1998
POPULARITY
In this episode: plans for bestowing hero status on Soeharto, exonerating parliamentarians for August excesses, the president's message to police, and Myanmar's junta poses for polls.It takes a lot of money to run a podcast. You need subscription fees for hosting, audio recording services, editor's salary and music licensing. Luckily, you, estemeed listeners of Reformasi Dispatch podcast can help us.You can donate to us on buymeacoffee.com/reformasi and help us grow!
MetroTV, Pembicaraan tentang pemberian gelar pahlawan juga ditanggapi oleh Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo. Jokowi menyampaikan bahwa setiap pemimpin negara memiliki peran dan jasa bagi bangsa, termasuk Presiden ke-2, Soeharto, dan Presiden ke-3, Kiai Haji Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur. Jokowi menegaskan bahwa setiap pemimpin memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta menilai perbedaan pendapat yang muncul di masyarakat merupakan hal wajar dalam sistem demokrasi.
Pemerintah Indonesia berencana memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Rencana ini ditentang banyak pihak, termasuk lebih dari 500 aktivis yang tokoh nasional yang secara resmi menyampaikan keberatannya.
Pemerintah terkesan ngotot mengusulkan nama Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional. Padahal, suara penolakan dari masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM era Orba tak kunjung kendor. Ini kali ketiga Soeharto masuk bursa kandidat penerima gelar pahlawan setelah sebelumnya pada 2010 dan 2015 kandas.Gelagat memuluskan jalan Soeharto sebagai pahlawan disinyalir sudah dilakukan sedari tahun lalu. MPR yang kala itu diketuai politikus Golkar Bambang Soesatyo mencabut nama Soeharto dari Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.Masyarakat sipil tak tinggal diam. Mei lalu, Mereka sudah bertemu Menteri Sosial Saifullah Yusuf sekaligus memberikan surat terbuka yang ditandatangani lebih dari 100 orang dan lembaga, isinya menolak tegas gelar pahlawan untuk Soeharto. Pasalnya, banyak kejahatan HAM di era Soeharto yang hingga kini menanti untuk diungkap tuntas.Apakah Soeharto layak digelari pahlawan? Apa saja implikasi yang harus diwaspadai bila Soeharto ditetapkan menjadi pahlawan? Adakah celah untuk menggagalkan upaya ini?Di Ruang Publik KBR kita akan bahas topik ini bersama Profesor Riset Purna Bakti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jane Rosalina, dan Juru Bicara PDIP sekaligus Aktivis 98 Ansy Lema.
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali mengemuka. Tokoh yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade ini memang meninggalkan jejak besar—baik dalam pembangunan ekonomi, maupun dalam kontroversi pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi yang mencoreng masa pemerintahannya.Sebagian pihak menilai, jasa Soeharto terhadap stabilitas nasional dan swasembada pangan di era Orde Baru layak dikenang sebagai kontribusi besar bagi bangsa. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang mengingat masa kelam kebebasan sipil, pembungkaman pers, hingga berbagai kasus pelanggaran HAM yang belum sepenuhnya terungkap.Menimbang kelayakan gelar pahlawan bagi Soeharto bukan sekadar soal jasa atau dosa masa lalu, tetapi juga ujian moral bangsa dalam menilai sejarah secara utuh. Apakah gelar pahlawan dapat diberikan tanpa menutup mata terhadap luka masa lalu? Ataukah penghargaan tertinggi itu seharusnya diberikan hanya kepada mereka yang tanpa cela membela rakyat dan kemanusiaan?Pada akhirnya, keputusan ini bukan hanya tentang Soeharto—melainkan tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, menulis ulang ingatan kolektif terhadap sejarah Indonesia.Talk : Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, Direktur Pusat Riset Politik Hukum dan Kebijakan Indonesia ( PRPHKI ) Saiful Anam & Pengamat Politik/Mantan Anggota MPR RI, Jusuf Sursoso
Dalam edisi Elshinta Pagi (23 Oktober 2025), News Anchor Bhery Hamzah berbincang bersama Arlan Siddha, Dosen Ilmu Politik dan Pengamat Pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani.Percakapan ini membahas makna dan urgensi pemberian gelar Pahlawan Nasional di tengah dinamika sejarah, politik, dan opini publik yang terus berkembang.Arlan menilai bahwa gelar pahlawan seharusnya tidak hanya menjadi simbol kehormatan, tetapi juga menjadi sarana edukasi publik agar generasi muda dapat “mewarisi apinya, bukan abunya.”Simak pandangan lengkapnya tentang kontroversi sejumlah nama calon pahlawan nasional — dari Soeharto hingga Marsinah — serta pentingnya peran masyarakat dalam menilai kontribusi sejarah bangsa.
Tragedi 1965 menjadi utang sejarah yang tak kunjung dilunasi negara. Enam dekade berlalu, tak ada upaya serius mengungkap apa yang sebetulnya terjadi dibalik peristiwa berdarah 1965-1966 yang telah merenggut jutaan jiwa itu.Sebaliknya, negara justru berupaya mengukuhkan narasi tunggal rezim Orde Baru, lewat penulisan ulang sejarah nasional yang dikebut Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Disinyalir, proyek ini untuk memuluskan gelar pahlawan bagi Soeharto.Untuk kesekian kalinya, para penyintas dan keluarga korban tragedi 65 melawan upaya pengingkaran. Simak kisah perjuangan mereka di SAGA KBR.Editorial:Heru Haetami, Ninik Yuniati, MalikaSound Designer:Bintang Elian
Het recente neerslaan van straatprotesten in Jakarta doet denken aan het bloedige verleden van Indonesië onder Soeharto. De 77-jarige Bedjo Untung zat in de jaren zeventig vast als politiek gevangene, en protesteert ook nu weer.Gast: Saskia KonnigerStem: Jan Paul de BondtMontage: Jeroen JaspersRedactie: Rogier van 't HekCoördinatie: Belle BraakhekkeHeb je vragen, suggesties of ideeën over onze journalistiek? Mail dan naar onze redactie via podcast@nrc.nlZie het privacybeleid op https://art19.com/privacy en de privacyverklaring van Californië op https://art19.com/privacy#do-not-sell-my-info.
MetroTV, [HEADLINE NEWS 19/09/2025, 10.00 WIB] Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa buka suara terkait gugatan yang dilayangkan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut Suharto ke PTUN. Menkeu memastikan gugatan tersebut telah dicabut dan komunikasi dengan pihak Tutut berjalan baik. Gugatan ini terkait larangan bepergian ke luar negeri karena dugaan piutang negara.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia bakal menerima dana riset dari pemerintah senilai Rp200 hingga Rp300 juta, melalui Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi. Menurut Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) wilayah IV Lukman, dana itu untuk mengakomodasi kebutuhan dan kreativitas mahasiswa yang aktif di BEM, sehingga mereka tak lagi turun ke jalan berdemonstrasi.Program dana riset untuk BEM diduga upaya terselubung untuk menggembosi gerakan mahasiswa, mereplikasi cara-cara Orba. Kala itu, lewat program Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan, Soeharto ingin membatasi kegiatan politik mahasiswa di kampus.Sebanyak 250 kampus akan menerima dana riset Kemendiktisaintek, antara lain Universitas Mulawarman Kalimantan Timur dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Bagaimana sikap BEM KM Unmul? Apa reaksi rektorat UMY?Apakah kebijakan ini tepat di tengah upaya efisiensi anggaran? Bagaimana pengawasannya? Apa dampak program dana riset terhadap independensi perguruan tinggi?Di Ruang Publik KBR kita akan bahas topi ini bersama Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Zuly Qodir, lalu Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Mulawarman (BEM KM Unmul) Maulana, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Nursyahbani Katjasungkana is een voorvechtster voor vrouwen- en LHBTI+-rechten in Indonesië die tijdens de dictatuur van Soeharto haar leven wijdde aan gerechtigheid. Ook is ze de partner van Emeritus-hoogleraar antropologie Saskia Wieringa (UvA) die in onze zomerserie aanschuift om te praten over haar jarenlange onderzoek naar genderverhoudingen en lesbische relaties in Indonesië. Hoe heeft hun gezamenlijke strijd de vrouwenbeweging in Indonesië gevormd – en wat staat er nog te winnen? Presentatie: Tim de Wit
Indonesia's judicial system has long been described as dysfunctional. Many of its problems developed out of decades of authoritarian rule, which began in the last few years of the reign of Indonesia's first president, Soekarno. By the time President Soeharto's regime fell in 1998, the judiciary had virtually collapsed. Judicial dependence on government, inefficiency and corruption were commonly seen as the main indicators of poor performance, resulting in very low levels of public trust in the courts. To address these problems, reformists focused on improving judicial independence. Yet while independence is a basic prerequisite for adequate judicial performance, much depends on how this independence is exercised. Judicial Dysfunction in Indonesia (Melbourne UP, 2023) demonstrates that Indonesian courts have tended to act without accountability and offers detailed analysis of highly controversial decisions by Indonesian courts, many of which have been of major political significance, both domestically and internationally. It sets out in concrete terms, for the first time, how bribes are negotiated and paid to judges and demonstrates that judges have issued poor decisions and engaged in corruption and other misconduct, largely without fear of retribution. Further, it explores unsafe convictions and public pressure as a threat to judicial independence. Judicial Dysfunction in Indonesia shines a sorely needed empirical light on the Indonesian judicial system, and is an essential resource for readers, scholars and students of Indonesian law and society. Simon Butt is Professor of Indonesian Law and Director of the Centre for Asian and Pacific Law at the University of Sydney. Professor Michele Ford is Professor of Southeast Asian Studies at the University of Sydney, Australia. Learn more about your ad choices. Visit megaphone.fm/adchoices Support our show by becoming a premium member! https://newbooksnetwork.supportingcast.fm/new-books-network
Indonesia's judicial system has long been described as dysfunctional. Many of its problems developed out of decades of authoritarian rule, which began in the last few years of the reign of Indonesia's first president, Soekarno. By the time President Soeharto's regime fell in 1998, the judiciary had virtually collapsed. Judicial dependence on government, inefficiency and corruption were commonly seen as the main indicators of poor performance, resulting in very low levels of public trust in the courts. To address these problems, reformists focused on improving judicial independence. Yet while independence is a basic prerequisite for adequate judicial performance, much depends on how this independence is exercised. Judicial Dysfunction in Indonesia (Melbourne UP, 2023) demonstrates that Indonesian courts have tended to act without accountability and offers detailed analysis of highly controversial decisions by Indonesian courts, many of which have been of major political significance, both domestically and internationally. It sets out in concrete terms, for the first time, how bribes are negotiated and paid to judges and demonstrates that judges have issued poor decisions and engaged in corruption and other misconduct, largely without fear of retribution. Further, it explores unsafe convictions and public pressure as a threat to judicial independence. Judicial Dysfunction in Indonesia shines a sorely needed empirical light on the Indonesian judicial system, and is an essential resource for readers, scholars and students of Indonesian law and society. Simon Butt is Professor of Indonesian Law and Director of the Centre for Asian and Pacific Law at the University of Sydney. Professor Michele Ford is Professor of Southeast Asian Studies at the University of Sydney, Australia. Learn more about your ad choices. Visit megaphone.fm/adchoices Support our show by becoming a premium member! https://newbooksnetwork.supportingcast.fm/east-asian-studies
Indonesia's judicial system has long been described as dysfunctional. Many of its problems developed out of decades of authoritarian rule, which began in the last few years of the reign of Indonesia's first president, Soekarno. By the time President Soeharto's regime fell in 1998, the judiciary had virtually collapsed. Judicial dependence on government, inefficiency and corruption were commonly seen as the main indicators of poor performance, resulting in very low levels of public trust in the courts. To address these problems, reformists focused on improving judicial independence. Yet while independence is a basic prerequisite for adequate judicial performance, much depends on how this independence is exercised. Judicial Dysfunction in Indonesia (Melbourne UP, 2023) demonstrates that Indonesian courts have tended to act without accountability and offers detailed analysis of highly controversial decisions by Indonesian courts, many of which have been of major political significance, both domestically and internationally. It sets out in concrete terms, for the first time, how bribes are negotiated and paid to judges and demonstrates that judges have issued poor decisions and engaged in corruption and other misconduct, largely without fear of retribution. Further, it explores unsafe convictions and public pressure as a threat to judicial independence. Judicial Dysfunction in Indonesia shines a sorely needed empirical light on the Indonesian judicial system, and is an essential resource for readers, scholars and students of Indonesian law and society. Simon Butt is Professor of Indonesian Law and Director of the Centre for Asian and Pacific Law at the University of Sydney. Professor Michele Ford is Professor of Southeast Asian Studies at the University of Sydney, Australia. Support our show by becoming a premium member! https://newbooksnetwork.supportingcast.fm/southeast-asian-studies
Indonesia's judicial system has long been described as dysfunctional. Many of its problems developed out of decades of authoritarian rule, which began in the last few years of the reign of Indonesia's first president, Soekarno. By the time President Soeharto's regime fell in 1998, the judiciary had virtually collapsed. Judicial dependence on government, inefficiency and corruption were commonly seen as the main indicators of poor performance, resulting in very low levels of public trust in the courts. To address these problems, reformists focused on improving judicial independence. Yet while independence is a basic prerequisite for adequate judicial performance, much depends on how this independence is exercised. Judicial Dysfunction in Indonesia (Melbourne UP, 2023) demonstrates that Indonesian courts have tended to act without accountability and offers detailed analysis of highly controversial decisions by Indonesian courts, many of which have been of major political significance, both domestically and internationally. It sets out in concrete terms, for the first time, how bribes are negotiated and paid to judges and demonstrates that judges have issued poor decisions and engaged in corruption and other misconduct, largely without fear of retribution. Further, it explores unsafe convictions and public pressure as a threat to judicial independence. Judicial Dysfunction in Indonesia shines a sorely needed empirical light on the Indonesian judicial system, and is an essential resource for readers, scholars and students of Indonesian law and society. Simon Butt is Professor of Indonesian Law and Director of the Centre for Asian and Pacific Law at the University of Sydney. Professor Michele Ford is Professor of Southeast Asian Studies at the University of Sydney, Australia. Learn more about your ad choices. Visit megaphone.fm/adchoices Support our show by becoming a premium member! https://newbooksnetwork.supportingcast.fm/political-science
Indonesia's judicial system has long been described as dysfunctional. Many of its problems developed out of decades of authoritarian rule, which began in the last few years of the reign of Indonesia's first president, Soekarno. By the time President Soeharto's regime fell in 1998, the judiciary had virtually collapsed. Judicial dependence on government, inefficiency and corruption were commonly seen as the main indicators of poor performance, resulting in very low levels of public trust in the courts. To address these problems, reformists focused on improving judicial independence. Yet while independence is a basic prerequisite for adequate judicial performance, much depends on how this independence is exercised. Judicial Dysfunction in Indonesia (Melbourne UP, 2023) demonstrates that Indonesian courts have tended to act without accountability and offers detailed analysis of highly controversial decisions by Indonesian courts, many of which have been of major political significance, both domestically and internationally. It sets out in concrete terms, for the first time, how bribes are negotiated and paid to judges and demonstrates that judges have issued poor decisions and engaged in corruption and other misconduct, largely without fear of retribution. Further, it explores unsafe convictions and public pressure as a threat to judicial independence. Judicial Dysfunction in Indonesia shines a sorely needed empirical light on the Indonesian judicial system, and is an essential resource for readers, scholars and students of Indonesian law and society. Simon Butt is Professor of Indonesian Law and Director of the Centre for Asian and Pacific Law at the University of Sydney. Professor Michele Ford is Professor of Southeast Asian Studies at the University of Sydney, Australia. Learn more about your ad choices. Visit megaphone.fm/adchoices Support our show by becoming a premium member! https://newbooksnetwork.supportingcast.fm/law
Pembangunan mega proyek Giant Sea Wall (GSW) alias Tanggul Laut Raksasa dikebut Presiden Prabowo Subianto. Alasannya, bikin tanggul laut di pantai utara Jawa (Pantura) termasuk Jakarta, Banten, dan Jawa Tengah bakal ampuh mencegah banjir rob dan erosi. Wilayah pesisir yang menjadi fokus pembangunan berada sepanjang 500 kilometer dari Banten hingga Gresik, Jatim.Prabowo bilang rencana pembangunan tanggul laut raksasa terus tertunda sejak masuk perencanaan Bappenas di era Soeharto. Hingga pembangunan tanggul laut utara Jakarta kembali dimulai pada tahun 2014.Ambisi Presiden Prabowo ini menuai dari kalangan pakar dan masyarakat. April lalu, data Destructive Fishing Watch (DFW) menunjukkan 56,2% masyarakat tidak setuju pembangunan GSW di sepanjang pesisir utara Jawa karena kekhawatiran hilangnya mata pencaharian dan kerusakan lingkungan.Di Ruang publik KBR pagi ini kita bahas dampak pembangunan tanggul laut raksasa bersama Dosen Ekologi Politik Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB Soeryo Adiwibowo dan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati.
Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia lagi-lagi diusulkan menjadi pahlawan nasional. Usulan ini muncul bersamaan waktunya dengan langkah pemerintah menulis ulang sejarah. Sebagian pihak menilai, Soeharto tak pantas jadi pahlawan, karena mempunyai banyak masalah di masa lalu.Apakah penulisan ulang sejarah ada kaitan dengan usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional?
Presiden kedua Indonesia, Soeharto kembali diusulkan sebagai calon Pahlawan Nasional 2025. Usulan ini disampaikan Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), pada Maret 2025. Menteri Sosial, Saifullah Yusuf mengatakan pengusulan dilakukan berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat serta melibatkan sejarawan, akademisi, hingga tokoh agama.Penolakan datang dari kelompok masyarakat sipil dan keluarga korban kekerasan dan pelanggaran HAM di era pemerintahan Soeharto. Pemberian gelar pahlawan dinilai mengkhianati upaya penuntasan kejahatan HAM masa lalu. Petisi tolak pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto juga diluncurkan Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas).Layak kah Soeharto mendapat gelar Pahlawan Nasional? Bagaimana pengaruhnya terhadap upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu? Ruang Publik KBR menghadirkan Prof. Asvi Warman Adam, Sejarawan sekaligus Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Met vandaag: Michiel Driebergen bezocht locatie waar Russische bom insloeg in de Donbas | Is een nieuw Soeharto-tijdperk aanstaande? | De dunne lijn tussen fictie en werkelijkheid in hitserie Adolescence | Nieuw ontdekte beelden van Cruijff in Andere Tijden Sport | Presentatie: Mieke van der Weij
Siapa yang tidak kenal dengan sosok Iron Man, pahlawan super dari dunia Marvel yang kini dikenal sebagai founding father-nya dari Marvel Cinematic Universe? Yess, Iron Man ini unik karena bukan hanya seorang superhero, tapi juga simbol dari dunia yang penuh teknologi canggih, inovasi, dan kisah yang saling terhubung antar karakter di MCU, sebuah jagat fiksi yang luas, yang bisa menggugah imajinasi para pengikutnya tentang kemungkinan-kemungkinan yang luar biasa.Tapi, tahukah kamu bahwa Indonesia juga pernah hampir punya jagat fiksi seperti itu? Di era Orde Baru, sempat ada sebuah upaya besar untuk menciptakan dunia fiksi ilmiah yang menggabungkan teknologi, cerita epik, dan karakter-karakter hebat yang bisa menginspirasi masa depan bangsa.
Mistisisme seakan telah menjadi unsur yang esensial dalam peradaban manusia. Mulai dari sejarah awal ketika era Mesopotamia kuno, Yunani, hingga era modern, masyarakat seluruh dunia selalu memiliki hubungan yang spesial dengan hal-hal berbau mistis. Khususnya kepada kelompok yang sering dianggap memiliki ikatan kuat dengan hal-hal gaib. Yess, kalau di Indonesia, para dukun dan orang pintar nih. Menariknya, bentuk kepercayaan kepada para dukun dan dunia mistis juga ternyata ditunjukkan oleh para pemimpin negara. Ketika peristiwa pemakzulan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol kemarin misalnya, muncul kabar bahwa ternyata ada sosok spiritual yang menjadi pemantik status Darurat Militer. Sosok tersebut adalah Noh Sang-won, Kepala Komando Intelijen Angkatan Darat yang disebut menjadi penasihat spiritual Yoon, dan membisikkan kepadanya untuk terapkan status Darurat Militer sejak tahun 2023. Sementara di Indonesia sendiri kepercayaan kepada dukun paling kentara ketika era Presiden Soeharto. Kala itu, Soeharto memiliki penasihat spiritual bernama Sudjono Humardani, sosok jenderal yang juga dikenal sebagai "Menteri Dukun"-nya presiden Indonesia ke-2 tersebut. Lalu, mengapa dunia politik yang penuh kalkulasi bisa begitu erat dengan unsur mistis? Apakah peran penasihat spiritual ini benar-benar nyata, atau justru ada intrik politik dan psikologis di baliknya? Well, inilah misteri mistisisme politik global!
Titiek Soeharto Pimpin Komisi IV DPR RI | Kembali Jabat Mensos, Gus Ipul Pantang Lakukan Korupsi | Guru Besar IPB Singgung Zaken Kabinet Cuma Sebatas Slogan *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Ooit werd Gülen gepresenteerd als een gematigde islamitische geestelijke leider. Maar zal nu de geschiedenisboeken ingaan als de man die volgens de Erdogan-regering achter de mislukte couppoging in 2016 zat. Toch blijven er na zijn dood belangrijke vragen onbeantwoord: hoe heeft zijn beweging zoveel macht kunnen krijgen? En herhaalt de geschiedenis zich straks als andere organisaties veel speelruimte krijgen in het land? Daarover Turkijekenner Cevahir Varan. (10:56) Indonesische president staat voor hoop en angst De nieuwe president van Indonesië, generaal Prabowo Subianto heeft zijn eerste dag als president erop zitten. Veel jonge Indonesiërs zien hem als een sterke leider die meer welvaart zal brengen. Maar voor ouderen, die 25 jaar geleden demonstreerden tegen de toenmalige dictatuur van Soeharto, is zijn presidentschap een hard gelach. Onder leiding van deze ex-generaal werden in Oost-Timor en in Papoea duizenden politieke activisten vermoord. Harris Azhar, een van de studentenleiders van toen, vecht al 25 jaar voor berechting van de militairen. Correspondent Wilma van der Maten sprak met deze luis in de pels in Jakarta. Presentatie: Sophie Derkzen
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional bagi Presiden kedua Indonesia, Soeharto kembali mencuat jelang peringatan Hari Pahlawan tiap 10 November. Wacana itu berulang kali disuarakan, tetapi kandas, salah satunya karena terganjal Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Namun, berbeda dari sebelumnya, jalan untuk mengegolkan gelar pahlawan bagi Soeharto kini tampak lebih terbuka, usai dicabutnya nama Soeharto dari Tap MPR tersebut. Putusan ini diketok beberapa hari jelang MPR periode 2019-2024 purnatugas. Ketua MPR kala itu Bambang Soesatyo, yang juga politikus Golkar, berdalih Soeharto tak bisa lagi dituntut karena sudah meninggal. Bamsoet juga mendorong Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional. Wacana itu sontak ditolak keras banyak kalangan karena berarti mengkhianati perjuangan reformasi yang menumbangkan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Apalagi, penuntasan kasus-kasus HAM berat masa lalu, yang terjadi di era Orde Baru, juga masih stagnan. Misalnya, tragedi 1965/1966, Talangsari, Lampung 1989, penghilangan paksa, hingga kerusuhan Mei 1998. Bagaimana suara korban/keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu terkait wacana gelar pahlawan untuk Soeharto? Apa saja dosa-dosa Soeharto yang membuatnya tidak layak mendapat gelar pahlawan? Kita bincangkan bersama Pipit Ambarmirah dari KIPPER (Kiprah Perempuan) Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara/Themis Indonesia Law Firm, Feri Amsari. *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Muncul satu diskusi menarik tentang apakah posisi Presiden Republik Indonesia yang dinilai lebih tepat diisi oleh sosok dengan latar belakang atau silsilah bangsawan, ningrat, atau "darah biru" dibandingkan "rakyat biasa". Diskursus ini praktis menantang narasi egaliter bahwa siapa pun, terlepas dari latar belakang mereka, berhak menjadi pemimpin. Nah, hal ini membawa kita pada penelusuran mengenai latar belakang para presiden Indonesia, terutama terkait dengan klaim bahwa hanya Soeharto dan Jokowi yang tidak memiliki "darah biru," sementara yang lain, seperti Soekarno, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memiliki jejak aristokratis, baik trah bangsawan atau keturunan kerajaan, agama, serta ksatria atau militer. Penasaran seperti apa interpretasi mengenai pembahasan tersebut?
Utang IMF Lunas, Tumbalnya Tak Kalah Mengerikannya? Oleh. Yuliyati Sambas (Kontributor NarasiPost.Com) Voice over talent: Yeni M NarasiPost.Com- Tengah menjadi sorotan ketika Megawati Soekarnoputri selaku Presiden ke-5 RI mengeklaim di masa pemerintahannya, tahun 2003, Indonesia berhasil keluar dari jerat utang IMF (Dana Moneter Internasional). "Ini saya nih pernah ngalami toh, krisis tahun 1997, tapi karena saya enggak punya mau, enggak punya apa, saya hanya mau rakyatku jangan menderita, semuanya selesai. IMF-nya berutang dari zaman Pak Harto (Presiden ke-2 Soeharto) saya selesaikan lho,” ucapnya saat memberi perayaan pada agenda Pengumuman Bakal Calon Kepala Daerah 2024, Senin (26/8). ( cnnindonesia.com , 27-08-2024) Naskah selengkapnya: https://narasipost.com/opini/09/2024/utang-imf-lunas-tumbalnya-tak-kalah-mengerikannya/ Terimakasih buat kalian yang sudah mendengarkan podcast ini, Follow us on: instagram: http://instagram.com/narasipost Facebook: https://www.facebook.com/narasi.post.9 Fanpage: Https://www.facebook.com/pg/narasipostmedia/posts/ Twitter: Http://twitter.com/narasipostx
De Binnenlandse Veiligheidsdienst (BVD) hield tijdens de bloedige decennia van de Soeharto-dictatuur in Indonesië tientallen Indonesiërs in de gaten, die voor korte of langere tijd in Nederland verbleven. Het gaat om vermeende communisten of om mensen die volgens de BVD contact onderhielden met communisten; mensen die in Indonesië moesten vrezen opgepakt, gemarteld en vermoord te worden. Alleen al in de periode van oktober 1965 tot april 1966 werden in Indonesië minstens een half miljoen ‘communisten' vermoord. Moeten de gigantische moordpartijen gekwalificeerd worden als genocide? Wie waren de Indonesiërs die door de BVD in de gaten werden gehouden? Wat is er met hen gebeurd? Welke informatie deelde de BVD met andere diensten? Kan de BVD medeplichtigheid aan genocide worden verweten? Presentatie: Eric Arends Redacteur: Huub Jaspers, Yonah Sint Nicolaas, Teun Dominicus
De Binnenlandse Veiligheidsdienst (BVD) hield tijdens de bloedige decennia van de Soeharto-dictatuur in Indonesië tientallen Indonesiërs in de gaten, die voor korte of langere tijd in Nederland verbleven. Het gaat om vermeende communisten of om mensen die volgens de BVD contact onderhielden met communisten; mensen die in Indonesië moesten vrezen opgepakt, gemarteld en vermoord te worden. Alleen al in de periode van oktober 1965 tot april 1966 werden in Indonesië minstens een half miljoen ‘communisten' vermoord. Moeten de gigantische moordpartijen gekwalificeerd worden als genocide? Wie waren de Indonesiërs die door de BVD in de gaten werden gehouden? Wat is er met hen gebeurd? Welke informatie deelde de BVD met andere diensten? Kan de BVD medeplichtigheid aan genocide worden verweten? Presentatie: Eric Arends Redacteur: Huub Jaspers, Yonah Sint Nicolaas, Teun Dominicus
Di era Orde Baru, ada nama Ali Moertopo, yang menjadi perwira Kostrad kepercayaan Soeharto untuk memimpin satgas Operasi Khusus atau Opsus di Konfrontasi Indonesia -Malaysia. Ini jadi simpul kiprah perwira Kostrad di level tertinggi negara. Terdapat beberapa prestasi berupa operasi militer kontra insurjensi yang melibatkan Kostrad di era Orde Baru dan melahirkan perwira-perwira terbaik ya, seperti Umar Wirahadikusumah, Kemal Idris, Poniman, Wiranto, hingga SBY. Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat atau Kostrad merupakan salah satu komando tempur utama Tentara Nasional Indonesia yang melahirkan sederet elit politik, negarawan , hingga Presiden Republik Indonesia. Tercatat dua nama, yakni Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan perwira Kostrad yang sukses meraih karir pengabdian tertinggi bagi negara sebagai Presiden Republik Indonesia. Meski hakikatnya berasal dari Komando Pasukan Khusus atau Kopassus, Prabowo Subianto yang pernah menjadi bagian dari Kostrad, kini tengah berupaya menjadi nama ketiga yang membawa latar belakang Kostrad untuk duduk di kursi Istana. Sejak digagas oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution pada awal 60an, Kostrad bertransformasi menjadi pasukan yang begitu diandalkan oleh pemerintah Indonesia. Di masa Dwifungsi ABRI dan Orde Baru, cukup banyak perwira Kostrad yang aktif terlibat langsung dalam aspek sosial kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak terkecuali dalam dinamika politik Indonesia. Lalu, seperti apa kisah perjalanan Kostrad sebagai satuan yang memberikan sumbangsih cukup besar bagi perjalanan sosial politik Indonesia?
Ada sebuah statement yang mengejutkan dari seorang Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa saat ini kualitas dari Kepala Daerah di berbagai daerah sepertinya lebih menurun dibandingkan jaman Pak Harto.
Perjalanan kepemimpinan tujuh Presiden RI tak melulu mulus hingga penghujung masa jabatan. Bahkan, dari keenam Presiden RI sebelumnya, dua di antaranya ditekel di tengah jalan, satu di antaranya mundur dari kursi kepresidenan. Lantas bagaimana kasak-kusuk istana di masa kepemimpinan Presiden ke-7, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto mendatang? --- Support this podcast: https://podcasters.spotify.com/pod/show/totalpolitik/support
Soekarno membekukan Partai Murba pada September 1965 atas beberapa tuduhan, salah satunya menerima uang 100 juta dolar Amerika Serikat dari CIA untuk menggulingkan Sang Proklamator. Pertentangan antara Murba dan PKI sangat tajam jelang dan selama awal 60-an. Ketika PKI semakin kuat, Murba menginisiasi kerja sama dengan militer dan pihak lainnya untuk menjegal PKI dengan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) yang ternyata kurang disukai Soekarno. 7 November 1948, Tan Malaka, Chaerul Saleh, Sukarni, dan Adam Malik menjadi pelopor pendirian Partai Musyawarah Rakyat Banyak atau Murba. Partai Murba mengusung ideologi unik racikan Tan Malaka yang merupakan paham sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia saat itu. Sempat dibekukan pada September 1965, setahun kemudian Partai Murba direhabilitasi oleh pemerintah dalam masa peralihan dari Soekarno ke Soeharto. Hasil Pemilu 1955 yang tak memuaskan, diikuti oleh capaian yang tak berbeda di Pemilu 1971. Kegagalan Partai Murba jamak dinilai karena stigma rezim Orde Baru terhadap golongan kiri, sebelum akhirnya Murba dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia atau PDIP pada tahun 1973.
Indonesia's national election vote‑count concluded relatively smoothly, with the Widodo family's PSI falling well short of inclusion in parliament while the Soeharto-era ruling party Golkar expanded its vote share at PDI‑Perjuangan's expense. Jeff and Kevin break down the implications and outlook. Also: an all-too predictable kerfuffle on new Customs restrictions for arriving travellers and some thoughts on a portentous WTO ruling on palm-derived biodiesel.Support us on buymeacoffee.com/reformasi
A recent presidential fashion statement -- a bright yellow necktie -- triggered anticipation that he may harbor designs on a takeover of Golkar, the Soeharto-era ruling party that will likely remain second-largest in the next parliament. Insider sources cited by Tempo magazine corroborated this indication of this maneuvering via sartorial elegance. But a Golkar takeover next December would be no simple task, even for the powerful Joko Widodo -- and it might conflict with the interests of Prabowo Subianto. Also: Jeff and Kevin discuss Prabowo's Free Lunch program and its costs, along with a possible parliamentary process to censure the government for wayward handling of the election process.Support us on buymeacoffee.com/reformasi
Op woensdag kiest Indonesië een nieuwe president. Maar ondanks een periode van democratisering, lijken de oude, autocratische krachten weer terug - van misschien wel nooit helemaal weggeweest. De populaire kandidaat Prabowo pakt de bevolking in met mooie beloftes, al heeft hij een donker verleden, vertelt correspondent Saskia Konniger. Overleeft de Indonesische democratie?Gast: Saskia KonnigerPresentatie: Egbert KalseRedactie: Esmee DirksMontage: JP GeersingCoördinatie: Henk Ruigrok van der WervenHeeft u vragen, suggesties of ideeën over onze journalistiek? Mail dan naar onze ombudsman via ombudsman@nrc.nl.Zie het privacybeleid op https://art19.com/privacy en de privacyverklaring van Californië op https://art19.com/privacy#do-not-sell-my-info.
Tahun 2023 mencatat fenomena yang mengerikan bagi demokrasi dan sejarah politik Indonesia. Seorang presiden memakai segala cara untuk terus berkuasa: rencana menunda pemilu, upaya memperpanjang masa jabatan, hingga merekayasa hukum agar anaknya bisa ikut pilpres. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dulu menolak politik dinasti kini bersekutu dengan Jokowi. Partai yang juga pernah mengecam Prabowo Subianto sebagai tokoh dengan masa lalu yang kelam, kini justru mendukungnya sebagai capres. Sejumlah aktivis 1998–yang dikenal dalam gerakan reformasi–pun demikian. Mereka yang diculik dan disiksa karena menginginkan kembalinya demokrasi, kini satu gerbong dengan mantan menantu Soeharto itu. - - - Dukung Tempo untuk terus menghadirkan jurnalisme berkualitas https://s.id/langganantempo. Baca berbagai laporan mendalam majalah Tempo dan Koran Tempo dengan mengunduh aplikasi Tempo. --- Send in a voice message: https://podcasters.spotify.com/pod/show/apakatatempo/message
Dua puluh lima tahun sudah Orde Baru berakhir. Dan kita masih terbayang naik turun dinamika di seputaran kisah kekuasaan Soeharto. Banyak yang membencinya, tapi tidak sedikit pula yang memuji pencapaian-pencapaiannya. Pak Harto adalah pemimpin yang membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi di era Soekarno dan menuntun negara ini ke arah pembangunan ekonomi yang lebih baik. But there are always be questions – pertanyaan-pertanyaan soal bagaimana sebetulnya kita harus memaknai warisan-warisan Pak Harto. Ini penting karena saat ini memang sedang terjadi upaya untuk meminggirkan warisan dan pencapaian-pencapaian Pak Harto – Keppres Nomor 2 tahun 2022 misalnya, tidak memasukkan nama Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Sehingga di episode kali ini, kita coba menggali ulang pro kontra penghapusan nama Soeharto, kelebihan Soeharto dalam perumusan kebijakan ekonomi, hingga persoalan pembangunan teknologi dan industri. Inilah Risalah Kisah di Balik Kuasa!
Indonesia is the largest Muslim majority country in the world, but it is not an Islamic state. The place of Islam within the state has been contested over the years, with proponents for and against a larger role for Islam in government and in the lives of citizens. The groups who advocate for a more prominent role for Islam occupy a wide spectrum of ideologies, approaches, and tactics. In the post-Soeharto era, terrorist acts have drawn attention through a handful of small, but committed, jihadist organisations mounting bombings at a variety of sites including churches, hotels, and, perhaps most famously, Balinese bars. In this episode we talk about pathways to extremism. Why do some people gravitate towards, and join, religious extremist organisations? How can we understand the difference between extremist and terrorist groups? And what important role do social relationships play in facilitating memberships and networks in this context? In this week's episode, Elisabeth Kramer chats with guest Dr Julie Chernov Hwang, who is an Associate Professor in the Department of Political Science and International Relations at Goucher College in Maryland. She's especially interested in how social networks facilitate entry into and exit from jihadist groups in Southeast Asia. She's the author of a number of books including Why Terrorists Quit, published by Cornell University Press in 2018 and her most recent book is Becoming Jihadis: Radicalization and Commitment in Southeast Asia, published this year by Oxford University Press. In 2023, the Talking Indonesia podcast is co-hosted by Dr Jemma Purdey from Monash University, Tito Ambyo from RMIT, Dr Jacqui Baker from Murdoch University and Dr Elisabeth Kramer from UNSW. Image by Masjid Pogung Dalangan from Unsplash. Caption: Close-up of hands held up in Islamic prayer.
Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jalan cukup menghidupimu~ Kata-kata tadi mungkin adalah potongan lirik lagu paling terkenal dari grup musik lawas Indonesia, Koes Plus. Dan gak heran kalau ada beberapa di antara kalian kaum milenial yang pernah mendengarnya, karena kelompok musik ini memang dikenal memiliki lagu-lagu lintas generasi. Well, nama Koes Plus besar di akhir era Presiden Soekarno dan awal era Soeharto. Selain karena lantunan lagunya yang enak, Koes Plus juga disenangi karena tema lagu-lagunya yang relatable sama kehidupan rakyat masa itu. Saking suksesnya, Koes Plus sampai dimasukkan ke dalam daftar 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa versi Majalah Rolling Stones Indonesia, lho! Tapi, mungkin nggak banyak orang yang tahu kalau ternyata grup musik legendaris tersebut pernah punya sejarah dengan kehidupan dunia intelijen. Iyess, intelijen ala-ala James Bond gitu. Hmm, penasaran gimana ceritanya? Inilah risalah Koes Plus di Pusaran Intelijen!
Kalian inget video PinterPolitik yang di dalamnya ada cuplikan footage dari film Pengkhianatan G30S/PKI. Bener banget! Film yang juga sering jadi perdebatan tiap bulan September. Nah, di footage ini, terlihat Almarhum Jenderal Ahmad Yani yang diperanin sama Pramana Padmodarmaya yang ditembak mati oleh sejumlah bapak-bapak lainnya. Nah, banyak yang menilai kalau ini jadi salah satu faktor yang nyebabin kekuasaan berpindah dari Soekarno ke Soeharto. But apa yang terjadi ya kalau ternyata Bung Karno mampu mempertahankan pemerintahannya? Bakal jadi gimana ya Indonesia nantinya? These are what might happen if Soekarno tetap jadi presiden!
A veteran human rights expert joins the pod to reflect on press freedoms a quarter-century since Soeharto's fall. Andreas Harsono also provides an update on the Widodo administration's gesture to acknowledge 12 cases of past rights cases. Also: Jeff and Kevin assess Ganjar's initial campaign performances and messaging -- along with an abrupt move by the Prabowo camp to 'go negative' at an early stage. And finally: sudden rancor over the Just Energy Transition Partnership (JETP) and the Bandung fast train's trial run.Get our special episode on the 4th Presidential Debate on:https://www.buymeacoffee.com/reformasi/extrasSupport us on buymeacoffee.com/reformasi
Setelah 25 tahun gerakan reformasi di Indonesia kini berada pada titik nadir. Semangat perubahan yang pernah diusung oleh mahasiswa, buruh, aktivis pro-demokrasi, dan berbagai kalangan masyarakat semakin meredup. Beberapa aktivis Reformasi 1998 yang dulu berjuang di jalanan, sekarang justru mendukung gagasan dan perilaku yang bertentangan dengan tuntutan mereka di masa lalu. Bahkan hingga di penghujung periode kedua pemerintahan Joko Widodo, belum ada satu pun dari enam tuntutan mahasiswa 1998 yang terlaksana sepenuhnya. Seperti misalnya supremasi hukum, pemberantasan korupsi, dan pengadilan terhadap mantan presiden Soeharto. Arus reformasi cenderung berbalik arah dan gejala otoritarianisme semakin menguat, menghadirkan tantangan serius bagi perjuangan demokrasi di Indonesia. - - - Baca berbagai laporan mendalam majalah Tempo dan Koran Tempo dengan mengunduh aplikasi Tempo. Kunjungi s.id/bacatempo untuk berlangganan Tempo Digital Premium hanya Rp 99 ribu setahun! Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Di episode Historiografi Soeharto #2 ini PinterPolitik berkesempatan mengobrol dengan Profesor Yusril Ihza Mahendra soal kesan-kesannya terkait Soeharto. Yusril menyebut Soeharto bukanlah sosok diktator seperti yang selama ini dipersepsikan banyak orang. Soeharto orang yang sangat peka dan sederhana. Pola hidupnya juga sangat sederhana. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana menciptakan kondisi politik dan ekonomi yang stabil bagi Indonesia. Simak video selengkapnya ya, dan jangan lupa like, share dan comment.
Keppres No.2 Tahun 2022 menghapus nama Soeharto dari Serangan Umum 1 Maret 1949. Produk hukum ini mendapat protes dari para sejarawan. Banyak pula yang menganalisis hal ini sebagai bagian dari upaya peminggiran sejarah Soeharto. Oleh karena itu, terlepas dari sisi kelam Soeharto dan Orde Baru, PinterPolitik menghadirkan series Historiografi untuk melihat kembali penulisan sejarah – di episode-episode ini akan sepesifik membahas soal Soeharto. Harapannya, generasi sekarang bisa melihat hal-hal yang juga positif dari masing-masing era kepemimpinan, sehingga menghindarkan kita dari narasi sejarah yang bias.
‘Met een zuiver geweten erken ik vandaag de dag, als staatshoofd, dat er ernstige mensenrechtenschendingen hebben plaatsgevonden op meerdere momenten.' Zo sprak Joko Widodo deze week op de Indonesische televisie. De president verwees naar meerdere misdaden onder het bewind van Soeharto, maar doelde vooral op de massamoord op een half miljoen vermeende communistische rebellen tussen 1965 en 1966. Maar hoe zat het met die massamoord, wat was de rol van de staat, en waarom juist nu deze spijtbetuiging? Historicus en Indonesië-kenner Remco Raben is te gast. Verder in OVT: Afro-Surinaamse klederdracht met Ella Broek en Jane Stjeward-Schubert, Duitse bruinkool met Annette Birschel en de column van Nelleke Noordervliet.
‘Met een zuiver geweten erken ik vandaag de dag, als staatshoofd, dat er ernstige mensenrechtenschendingen hebben plaatsgevonden op meerdere momenten.' Zo sprak Joko Widodo deze week op de Indonesische televisie. De president verwees naar meerdere misdaden onder het bewind van Soeharto, maar doelde vooral op de massamoord op een half miljoen vermeende communistische rebellen tussen 1965 en 1966. Maar hoe zat het met die massamoord, wat was de rol van de staat, en waarom juist nu deze spijtbetuiging? Historicus en Indonesië-kenner Remco Raben is te gast.
Indonesia's longest-standing and most prominent "cause lawyering" organisation, the Legal Aid Institute or LBH, was founded in the early days of Soeharto's authoritarian regime in 1970. Cause lawyering broadly refers to using the law to achieve social change. Throughout much of its history, LBH has faced the challenge of pursuing this mission in a context in which victory in the courtroom has been highly unlikely. How have LBH's lawyers pursued social change in circumstances where victory in the courtroom has often been highly unlikely? Did democratisation open new opportunities for cause lawyering? How has LBH responded as the quality of democracy has declined? What does the future hold for LBH and cause lawyering in Indonesia? In this week's Talking Indonesia podcast, Dr Dave McRae chats with Dr Tim Mann, editor of the Indonesia at Melbourne blog and associate director of the Centre for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS). Dr Mann wrote his PhD thesis on LBH and cause lawyering in a fragile democracy. In 2022, the Talking Indonesia podcast is co-hosted by Dr Jemma Purdey from Monash University, Dr Dave McRae from the Centre for Indonesian Law, Islam and Society at the University of Melbourne, Dr Jacqui Baker from Murdoch University, and Tito Ambyo. Look out for a new Talking Indonesia podcast every fortnight. Photo credit: Screenshot from Watchdoc Documentary/Trismana.
Berakhirnya keterpurukan ekonomi di era Soekarno, juga menjadi awal kekuasaan militeristik Orde Baru di bawah Soeharto. Indonesia kemudian beranjak ke sebuah era baru. Soeharto mengambil alih kekuasaan dan mencari-cari jalan untuk menemukan resep ekonomi yang cocok bagi Indonesia. Indonesia akhirnya bergerak menuju sebuah model ekonomi yang sangat dipengaruhi pemikiran kapitalisme Barat. Namun, arah pergerakan ekonomi itu tidak terjadi dengan sendirinya. Disebutkan bahwa ada sekelompok ekonom yang memainkan peranan besar dalam menentukan kebijakan ekonomi negara saat itu. Mereka menggariskan arah pembangunan yang pada akhirnya justru dicap membuat Indonesia menjadi boneka Amerika Serikat. Kelompok inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai para Mafia Berkeley, nama yang merujuk dari almamater sekolah para tokoh-tokohnya, University of California, alias UC Berkeley. Siapa saja para tokoh ekonom tersebut dan benarkah kiprah mereka merugikan Indonesia?
Ngomong mulu nih bocah bocah