President of Indonesia from 1967 to 1998
POPULARITY
Presiden kedua Indonesia, Soeharto kembali diusulkan sebagai calon Pahlawan Nasional 2025. Usulan ini disampaikan Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), pada Maret 2025. Menteri Sosial, Saifullah Yusuf mengatakan pengusulan dilakukan berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat serta melibatkan sejarawan, akademisi, hingga tokoh agama.Penolakan datang dari kelompok masyarakat sipil dan keluarga korban kekerasan dan pelanggaran HAM di era pemerintahan Soeharto. Pemberian gelar pahlawan dinilai mengkhianati upaya penuntasan kejahatan HAM masa lalu. Petisi tolak pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto juga diluncurkan Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas).Layak kah Soeharto mendapat gelar Pahlawan Nasional? Bagaimana pengaruhnya terhadap upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu? Ruang Publik KBR menghadirkan Prof. Asvi Warman Adam, Sejarawan sekaligus Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Met vandaag: Michiel Driebergen bezocht locatie waar Russische bom insloeg in de Donbas | Is een nieuw Soeharto-tijdperk aanstaande? | De dunne lijn tussen fictie en werkelijkheid in hitserie Adolescence | Nieuw ontdekte beelden van Cruijff in Andere Tijden Sport | Presentatie: Mieke van der Weij
Siapa yang tidak kenal dengan sosok Iron Man, pahlawan super dari dunia Marvel yang kini dikenal sebagai founding father-nya dari Marvel Cinematic Universe? Yess, Iron Man ini unik karena bukan hanya seorang superhero, tapi juga simbol dari dunia yang penuh teknologi canggih, inovasi, dan kisah yang saling terhubung antar karakter di MCU, sebuah jagat fiksi yang luas, yang bisa menggugah imajinasi para pengikutnya tentang kemungkinan-kemungkinan yang luar biasa.Tapi, tahukah kamu bahwa Indonesia juga pernah hampir punya jagat fiksi seperti itu? Di era Orde Baru, sempat ada sebuah upaya besar untuk menciptakan dunia fiksi ilmiah yang menggabungkan teknologi, cerita epik, dan karakter-karakter hebat yang bisa menginspirasi masa depan bangsa.
Mistisisme seakan telah menjadi unsur yang esensial dalam peradaban manusia. Mulai dari sejarah awal ketika era Mesopotamia kuno, Yunani, hingga era modern, masyarakat seluruh dunia selalu memiliki hubungan yang spesial dengan hal-hal berbau mistis. Khususnya kepada kelompok yang sering dianggap memiliki ikatan kuat dengan hal-hal gaib. Yess, kalau di Indonesia, para dukun dan orang pintar nih. Menariknya, bentuk kepercayaan kepada para dukun dan dunia mistis juga ternyata ditunjukkan oleh para pemimpin negara. Ketika peristiwa pemakzulan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol kemarin misalnya, muncul kabar bahwa ternyata ada sosok spiritual yang menjadi pemantik status Darurat Militer. Sosok tersebut adalah Noh Sang-won, Kepala Komando Intelijen Angkatan Darat yang disebut menjadi penasihat spiritual Yoon, dan membisikkan kepadanya untuk terapkan status Darurat Militer sejak tahun 2023. Sementara di Indonesia sendiri kepercayaan kepada dukun paling kentara ketika era Presiden Soeharto. Kala itu, Soeharto memiliki penasihat spiritual bernama Sudjono Humardani, sosok jenderal yang juga dikenal sebagai "Menteri Dukun"-nya presiden Indonesia ke-2 tersebut. Lalu, mengapa dunia politik yang penuh kalkulasi bisa begitu erat dengan unsur mistis? Apakah peran penasihat spiritual ini benar-benar nyata, atau justru ada intrik politik dan psikologis di baliknya? Well, inilah misteri mistisisme politik global!
Titiek Soeharto Pimpin Komisi IV DPR RI | Kembali Jabat Mensos, Gus Ipul Pantang Lakukan Korupsi | Guru Besar IPB Singgung Zaken Kabinet Cuma Sebatas Slogan *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Ooit werd Gülen gepresenteerd als een gematigde islamitische geestelijke leider. Maar zal nu de geschiedenisboeken ingaan als de man die volgens de Erdogan-regering achter de mislukte couppoging in 2016 zat. Toch blijven er na zijn dood belangrijke vragen onbeantwoord: hoe heeft zijn beweging zoveel macht kunnen krijgen? En herhaalt de geschiedenis zich straks als andere organisaties veel speelruimte krijgen in het land? Daarover Turkijekenner Cevahir Varan. (10:56) Indonesische president staat voor hoop en angst De nieuwe president van Indonesië, generaal Prabowo Subianto heeft zijn eerste dag als president erop zitten. Veel jonge Indonesiërs zien hem als een sterke leider die meer welvaart zal brengen. Maar voor ouderen, die 25 jaar geleden demonstreerden tegen de toenmalige dictatuur van Soeharto, is zijn presidentschap een hard gelach. Onder leiding van deze ex-generaal werden in Oost-Timor en in Papoea duizenden politieke activisten vermoord. Harris Azhar, een van de studentenleiders van toen, vecht al 25 jaar voor berechting van de militairen. Correspondent Wilma van der Maten sprak met deze luis in de pels in Jakarta. Presentatie: Sophie Derkzen
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional bagi Presiden kedua Indonesia, Soeharto kembali mencuat jelang peringatan Hari Pahlawan tiap 10 November. Wacana itu berulang kali disuarakan, tetapi kandas, salah satunya karena terganjal Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Namun, berbeda dari sebelumnya, jalan untuk mengegolkan gelar pahlawan bagi Soeharto kini tampak lebih terbuka, usai dicabutnya nama Soeharto dari Tap MPR tersebut. Putusan ini diketok beberapa hari jelang MPR periode 2019-2024 purnatugas. Ketua MPR kala itu Bambang Soesatyo, yang juga politikus Golkar, berdalih Soeharto tak bisa lagi dituntut karena sudah meninggal. Bamsoet juga mendorong Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional. Wacana itu sontak ditolak keras banyak kalangan karena berarti mengkhianati perjuangan reformasi yang menumbangkan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Apalagi, penuntasan kasus-kasus HAM berat masa lalu, yang terjadi di era Orde Baru, juga masih stagnan. Misalnya, tragedi 1965/1966, Talangsari, Lampung 1989, penghilangan paksa, hingga kerusuhan Mei 1998. Bagaimana suara korban/keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu terkait wacana gelar pahlawan untuk Soeharto? Apa saja dosa-dosa Soeharto yang membuatnya tidak layak mendapat gelar pahlawan? Kita bincangkan bersama Pipit Ambarmirah dari KIPPER (Kiprah Perempuan) Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara/Themis Indonesia Law Firm, Feri Amsari. *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Muncul satu diskusi menarik tentang apakah posisi Presiden Republik Indonesia yang dinilai lebih tepat diisi oleh sosok dengan latar belakang atau silsilah bangsawan, ningrat, atau "darah biru" dibandingkan "rakyat biasa". Diskursus ini praktis menantang narasi egaliter bahwa siapa pun, terlepas dari latar belakang mereka, berhak menjadi pemimpin. Nah, hal ini membawa kita pada penelusuran mengenai latar belakang para presiden Indonesia, terutama terkait dengan klaim bahwa hanya Soeharto dan Jokowi yang tidak memiliki "darah biru," sementara yang lain, seperti Soekarno, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memiliki jejak aristokratis, baik trah bangsawan atau keturunan kerajaan, agama, serta ksatria atau militer. Penasaran seperti apa interpretasi mengenai pembahasan tersebut?
Utang IMF Lunas, Tumbalnya Tak Kalah Mengerikannya? Oleh. Yuliyati Sambas (Kontributor NarasiPost.Com) Voice over talent: Yeni M NarasiPost.Com- Tengah menjadi sorotan ketika Megawati Soekarnoputri selaku Presiden ke-5 RI mengeklaim di masa pemerintahannya, tahun 2003, Indonesia berhasil keluar dari jerat utang IMF (Dana Moneter Internasional). "Ini saya nih pernah ngalami toh, krisis tahun 1997, tapi karena saya enggak punya mau, enggak punya apa, saya hanya mau rakyatku jangan menderita, semuanya selesai. IMF-nya berutang dari zaman Pak Harto (Presiden ke-2 Soeharto) saya selesaikan lho,” ucapnya saat memberi perayaan pada agenda Pengumuman Bakal Calon Kepala Daerah 2024, Senin (26/8). ( cnnindonesia.com , 27-08-2024) Naskah selengkapnya: https://narasipost.com/opini/09/2024/utang-imf-lunas-tumbalnya-tak-kalah-mengerikannya/ Terimakasih buat kalian yang sudah mendengarkan podcast ini, Follow us on: instagram: http://instagram.com/narasipost Facebook: https://www.facebook.com/narasi.post.9 Fanpage: Https://www.facebook.com/pg/narasipostmedia/posts/ Twitter: Http://twitter.com/narasipostx
De Binnenlandse Veiligheidsdienst (BVD) hield tijdens de bloedige decennia van de Soeharto-dictatuur in Indonesië tientallen Indonesiërs in de gaten, die voor korte of langere tijd in Nederland verbleven. Het gaat om vermeende communisten of om mensen die volgens de BVD contact onderhielden met communisten; mensen die in Indonesië moesten vrezen opgepakt, gemarteld en vermoord te worden. Alleen al in de periode van oktober 1965 tot april 1966 werden in Indonesië minstens een half miljoen ‘communisten' vermoord. Moeten de gigantische moordpartijen gekwalificeerd worden als genocide? Wie waren de Indonesiërs die door de BVD in de gaten werden gehouden? Wat is er met hen gebeurd? Welke informatie deelde de BVD met andere diensten? Kan de BVD medeplichtigheid aan genocide worden verweten? Presentatie: Eric Arends Redacteur: Huub Jaspers, Yonah Sint Nicolaas, Teun Dominicus
De Binnenlandse Veiligheidsdienst (BVD) hield tijdens de bloedige decennia van de Soeharto-dictatuur in Indonesië tientallen Indonesiërs in de gaten, die voor korte of langere tijd in Nederland verbleven. Het gaat om vermeende communisten of om mensen die volgens de BVD contact onderhielden met communisten; mensen die in Indonesië moesten vrezen opgepakt, gemarteld en vermoord te worden. Alleen al in de periode van oktober 1965 tot april 1966 werden in Indonesië minstens een half miljoen ‘communisten' vermoord. Moeten de gigantische moordpartijen gekwalificeerd worden als genocide? Wie waren de Indonesiërs die door de BVD in de gaten werden gehouden? Wat is er met hen gebeurd? Welke informatie deelde de BVD met andere diensten? Kan de BVD medeplichtigheid aan genocide worden verweten? Presentatie: Eric Arends Redacteur: Huub Jaspers, Yonah Sint Nicolaas, Teun Dominicus
Di era Orde Baru, ada nama Ali Moertopo, yang menjadi perwira Kostrad kepercayaan Soeharto untuk memimpin satgas Operasi Khusus atau Opsus di Konfrontasi Indonesia -Malaysia. Ini jadi simpul kiprah perwira Kostrad di level tertinggi negara. Terdapat beberapa prestasi berupa operasi militer kontra insurjensi yang melibatkan Kostrad di era Orde Baru dan melahirkan perwira-perwira terbaik ya, seperti Umar Wirahadikusumah, Kemal Idris, Poniman, Wiranto, hingga SBY. Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat atau Kostrad merupakan salah satu komando tempur utama Tentara Nasional Indonesia yang melahirkan sederet elit politik, negarawan , hingga Presiden Republik Indonesia. Tercatat dua nama, yakni Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan perwira Kostrad yang sukses meraih karir pengabdian tertinggi bagi negara sebagai Presiden Republik Indonesia. Meski hakikatnya berasal dari Komando Pasukan Khusus atau Kopassus, Prabowo Subianto yang pernah menjadi bagian dari Kostrad, kini tengah berupaya menjadi nama ketiga yang membawa latar belakang Kostrad untuk duduk di kursi Istana. Sejak digagas oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution pada awal 60an, Kostrad bertransformasi menjadi pasukan yang begitu diandalkan oleh pemerintah Indonesia. Di masa Dwifungsi ABRI dan Orde Baru, cukup banyak perwira Kostrad yang aktif terlibat langsung dalam aspek sosial kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak terkecuali dalam dinamika politik Indonesia. Lalu, seperti apa kisah perjalanan Kostrad sebagai satuan yang memberikan sumbangsih cukup besar bagi perjalanan sosial politik Indonesia?
Ada sebuah statement yang mengejutkan dari seorang Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa saat ini kualitas dari Kepala Daerah di berbagai daerah sepertinya lebih menurun dibandingkan jaman Pak Harto.
Perjalanan kepemimpinan tujuh Presiden RI tak melulu mulus hingga penghujung masa jabatan. Bahkan, dari keenam Presiden RI sebelumnya, dua di antaranya ditekel di tengah jalan, satu di antaranya mundur dari kursi kepresidenan. Lantas bagaimana kasak-kusuk istana di masa kepemimpinan Presiden ke-7, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto mendatang? --- Support this podcast: https://podcasters.spotify.com/pod/show/totalpolitik/support
Soekarno membekukan Partai Murba pada September 1965 atas beberapa tuduhan, salah satunya menerima uang 100 juta dolar Amerika Serikat dari CIA untuk menggulingkan Sang Proklamator. Pertentangan antara Murba dan PKI sangat tajam jelang dan selama awal 60-an. Ketika PKI semakin kuat, Murba menginisiasi kerja sama dengan militer dan pihak lainnya untuk menjegal PKI dengan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) yang ternyata kurang disukai Soekarno. 7 November 1948, Tan Malaka, Chaerul Saleh, Sukarni, dan Adam Malik menjadi pelopor pendirian Partai Musyawarah Rakyat Banyak atau Murba. Partai Murba mengusung ideologi unik racikan Tan Malaka yang merupakan paham sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia saat itu. Sempat dibekukan pada September 1965, setahun kemudian Partai Murba direhabilitasi oleh pemerintah dalam masa peralihan dari Soekarno ke Soeharto. Hasil Pemilu 1955 yang tak memuaskan, diikuti oleh capaian yang tak berbeda di Pemilu 1971. Kegagalan Partai Murba jamak dinilai karena stigma rezim Orde Baru terhadap golongan kiri, sebelum akhirnya Murba dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia atau PDIP pada tahun 1973.
Indonesia's national election vote‑count concluded relatively smoothly, with the Widodo family's PSI falling well short of inclusion in parliament while the Soeharto-era ruling party Golkar expanded its vote share at PDI‑Perjuangan's expense. Jeff and Kevin break down the implications and outlook. Also: an all-too predictable kerfuffle on new Customs restrictions for arriving travellers and some thoughts on a portentous WTO ruling on palm-derived biodiesel.Support us on buymeacoffee.com/reformasi
A recent presidential fashion statement -- a bright yellow necktie -- triggered anticipation that he may harbor designs on a takeover of Golkar, the Soeharto-era ruling party that will likely remain second-largest in the next parliament. Insider sources cited by Tempo magazine corroborated this indication of this maneuvering via sartorial elegance. But a Golkar takeover next December would be no simple task, even for the powerful Joko Widodo -- and it might conflict with the interests of Prabowo Subianto. Also: Jeff and Kevin discuss Prabowo's Free Lunch program and its costs, along with a possible parliamentary process to censure the government for wayward handling of the election process.Support us on buymeacoffee.com/reformasi
Op woensdag kiest Indonesië een nieuwe president. Maar ondanks een periode van democratisering, lijken de oude, autocratische krachten weer terug - van misschien wel nooit helemaal weggeweest. De populaire kandidaat Prabowo pakt de bevolking in met mooie beloftes, al heeft hij een donker verleden, vertelt correspondent Saskia Konniger. Overleeft de Indonesische democratie?Gast: Saskia KonnigerPresentatie: Egbert KalseRedactie: Esmee DirksMontage: JP GeersingCoördinatie: Henk Ruigrok van der WervenHeeft u vragen, suggesties of ideeën over onze journalistiek? Mail dan naar onze ombudsman via ombudsman@nrc.nl.Zie het privacybeleid op https://art19.com/privacy en de privacyverklaring van Californië op https://art19.com/privacy#do-not-sell-my-info.
Tahun 2023 mencatat fenomena yang mengerikan bagi demokrasi dan sejarah politik Indonesia. Seorang presiden memakai segala cara untuk terus berkuasa: rencana menunda pemilu, upaya memperpanjang masa jabatan, hingga merekayasa hukum agar anaknya bisa ikut pilpres. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dulu menolak politik dinasti kini bersekutu dengan Jokowi. Partai yang juga pernah mengecam Prabowo Subianto sebagai tokoh dengan masa lalu yang kelam, kini justru mendukungnya sebagai capres. Sejumlah aktivis 1998–yang dikenal dalam gerakan reformasi–pun demikian. Mereka yang diculik dan disiksa karena menginginkan kembalinya demokrasi, kini satu gerbong dengan mantan menantu Soeharto itu. - - - Dukung Tempo untuk terus menghadirkan jurnalisme berkualitas https://s.id/langganantempo. Baca berbagai laporan mendalam majalah Tempo dan Koran Tempo dengan mengunduh aplikasi Tempo. --- Send in a voice message: https://podcasters.spotify.com/pod/show/apakatatempo/message
Dua puluh lima tahun sudah Orde Baru berakhir. Dan kita masih terbayang naik turun dinamika di seputaran kisah kekuasaan Soeharto. Banyak yang membencinya, tapi tidak sedikit pula yang memuji pencapaian-pencapaiannya. Pak Harto adalah pemimpin yang membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi di era Soekarno dan menuntun negara ini ke arah pembangunan ekonomi yang lebih baik. But there are always be questions – pertanyaan-pertanyaan soal bagaimana sebetulnya kita harus memaknai warisan-warisan Pak Harto. Ini penting karena saat ini memang sedang terjadi upaya untuk meminggirkan warisan dan pencapaian-pencapaian Pak Harto – Keppres Nomor 2 tahun 2022 misalnya, tidak memasukkan nama Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Sehingga di episode kali ini, kita coba menggali ulang pro kontra penghapusan nama Soeharto, kelebihan Soeharto dalam perumusan kebijakan ekonomi, hingga persoalan pembangunan teknologi dan industri. Inilah Risalah Kisah di Balik Kuasa!
Indonesia is the largest Muslim majority country in the world, but it is not an Islamic state. The place of Islam within the state has been contested over the years, with proponents for and against a larger role for Islam in government and in the lives of citizens. The groups who advocate for a more prominent role for Islam occupy a wide spectrum of ideologies, approaches, and tactics. In the post-Soeharto era, terrorist acts have drawn attention through a handful of small, but committed, jihadist organisations mounting bombings at a variety of sites including churches, hotels, and, perhaps most famously, Balinese bars. In this episode we talk about pathways to extremism. Why do some people gravitate towards, and join, religious extremist organisations? How can we understand the difference between extremist and terrorist groups? And what important role do social relationships play in facilitating memberships and networks in this context? In this week's episode, Elisabeth Kramer chats with guest Dr Julie Chernov Hwang, who is an Associate Professor in the Department of Political Science and International Relations at Goucher College in Maryland. She's especially interested in how social networks facilitate entry into and exit from jihadist groups in Southeast Asia. She's the author of a number of books including Why Terrorists Quit, published by Cornell University Press in 2018 and her most recent book is Becoming Jihadis: Radicalization and Commitment in Southeast Asia, published this year by Oxford University Press. In 2023, the Talking Indonesia podcast is co-hosted by Dr Jemma Purdey from Monash University, Tito Ambyo from RMIT, Dr Jacqui Baker from Murdoch University and Dr Elisabeth Kramer from UNSW. Image by Masjid Pogung Dalangan from Unsplash. Caption: Close-up of hands held up in Islamic prayer.
Berita Koran Tempo hari ini: Ancaman kekeringan dan serangan hama jelang puncak El Nino; Tarif baru ekspor mineral logam untuk dorong pembangunan smelter; Konflik petani dan perusahaan sawit di Malin Deman, Bengkulu sejak era Soeharto. — Bantu kami memahami Anda untuk meningkatkan kualitas jurnalistik Tempo lewat survei: http://bit.ly/tcosurvei Baca informasi mendalam Tempo dengan mengunduh aplikasi Tempo. Kunjungi s.id/spesialjuli untuk mendapat diskon berlangganan Tempo Digital Premium selama setahun.
Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jalan cukup menghidupimu~ Kata-kata tadi mungkin adalah potongan lirik lagu paling terkenal dari grup musik lawas Indonesia, Koes Plus. Dan gak heran kalau ada beberapa di antara kalian kaum milenial yang pernah mendengarnya, karena kelompok musik ini memang dikenal memiliki lagu-lagu lintas generasi. Well, nama Koes Plus besar di akhir era Presiden Soekarno dan awal era Soeharto. Selain karena lantunan lagunya yang enak, Koes Plus juga disenangi karena tema lagu-lagunya yang relatable sama kehidupan rakyat masa itu. Saking suksesnya, Koes Plus sampai dimasukkan ke dalam daftar 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa versi Majalah Rolling Stones Indonesia, lho! Tapi, mungkin nggak banyak orang yang tahu kalau ternyata grup musik legendaris tersebut pernah punya sejarah dengan kehidupan dunia intelijen. Iyess, intelijen ala-ala James Bond gitu. Hmm, penasaran gimana ceritanya? Inilah risalah Koes Plus di Pusaran Intelijen!
Kalian inget video PinterPolitik yang di dalamnya ada cuplikan footage dari film Pengkhianatan G30S/PKI. Bener banget! Film yang juga sering jadi perdebatan tiap bulan September. Nah, di footage ini, terlihat Almarhum Jenderal Ahmad Yani yang diperanin sama Pramana Padmodarmaya yang ditembak mati oleh sejumlah bapak-bapak lainnya. Nah, banyak yang menilai kalau ini jadi salah satu faktor yang nyebabin kekuasaan berpindah dari Soekarno ke Soeharto. But apa yang terjadi ya kalau ternyata Bung Karno mampu mempertahankan pemerintahannya? Bakal jadi gimana ya Indonesia nantinya? These are what might happen if Soekarno tetap jadi presiden!
A veteran human rights expert joins the pod to reflect on press freedoms a quarter-century since Soeharto's fall. Andreas Harsono also provides an update on the Widodo administration's gesture to acknowledge 12 cases of past rights cases. Also: Jeff and Kevin assess Ganjar's initial campaign performances and messaging -- along with an abrupt move by the Prabowo camp to 'go negative' at an early stage. And finally: sudden rancor over the Just Energy Transition Partnership (JETP) and the Bandung fast train's trial run.Get our special episode on the 4th Presidential Debate on:https://www.buymeacoffee.com/reformasi/extrasSupport us on buymeacoffee.com/reformasi
Setelah 25 tahun gerakan reformasi di Indonesia kini berada pada titik nadir. Semangat perubahan yang pernah diusung oleh mahasiswa, buruh, aktivis pro-demokrasi, dan berbagai kalangan masyarakat semakin meredup. Beberapa aktivis Reformasi 1998 yang dulu berjuang di jalanan, sekarang justru mendukung gagasan dan perilaku yang bertentangan dengan tuntutan mereka di masa lalu. Bahkan hingga di penghujung periode kedua pemerintahan Joko Widodo, belum ada satu pun dari enam tuntutan mahasiswa 1998 yang terlaksana sepenuhnya. Seperti misalnya supremasi hukum, pemberantasan korupsi, dan pengadilan terhadap mantan presiden Soeharto. Arus reformasi cenderung berbalik arah dan gejala otoritarianisme semakin menguat, menghadirkan tantangan serius bagi perjuangan demokrasi di Indonesia. - - - Baca berbagai laporan mendalam majalah Tempo dan Koran Tempo dengan mengunduh aplikasi Tempo. Kunjungi s.id/bacatempo untuk berlangganan Tempo Digital Premium hanya Rp 99 ribu setahun! Kritik dan saran: podcast@tempo.co.id
Di episode Historiografi Soeharto #2 ini PinterPolitik berkesempatan mengobrol dengan Profesor Yusril Ihza Mahendra soal kesan-kesannya terkait Soeharto. Yusril menyebut Soeharto bukanlah sosok diktator seperti yang selama ini dipersepsikan banyak orang. Soeharto orang yang sangat peka dan sederhana. Pola hidupnya juga sangat sederhana. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana menciptakan kondisi politik dan ekonomi yang stabil bagi Indonesia. Simak video selengkapnya ya, dan jangan lupa like, share dan comment.
Keppres No.2 Tahun 2022 menghapus nama Soeharto dari Serangan Umum 1 Maret 1949. Produk hukum ini mendapat protes dari para sejarawan. Banyak pula yang menganalisis hal ini sebagai bagian dari upaya peminggiran sejarah Soeharto. Oleh karena itu, terlepas dari sisi kelam Soeharto dan Orde Baru, PinterPolitik menghadirkan series Historiografi untuk melihat kembali penulisan sejarah – di episode-episode ini akan sepesifik membahas soal Soeharto. Harapannya, generasi sekarang bisa melihat hal-hal yang juga positif dari masing-masing era kepemimpinan, sehingga menghindarkan kita dari narasi sejarah yang bias.
Dengarkan kilas balik perjalanan seorang Yusril Ihza Mahendra, mendampingi 3 kepala negara, ditengah hiruk pikuk pra-reformasi, saat reformasi, hingga pasca reformasi. Eksklusif di Total Politik, Ft. Prof Yusril Ihza Mahendra. --- Support this podcast: https://podcasters.spotify.com/pod/show/totalpolitik/support
‘Met een zuiver geweten erken ik vandaag de dag, als staatshoofd, dat er ernstige mensenrechtenschendingen hebben plaatsgevonden op meerdere momenten.' Zo sprak Joko Widodo deze week op de Indonesische televisie. De president verwees naar meerdere misdaden onder het bewind van Soeharto, maar doelde vooral op de massamoord op een half miljoen vermeende communistische rebellen tussen 1965 en 1966. Maar hoe zat het met die massamoord, wat was de rol van de staat, en waarom juist nu deze spijtbetuiging? Historicus en Indonesië-kenner Remco Raben is te gast. Verder in OVT: Afro-Surinaamse klederdracht met Ella Broek en Jane Stjeward-Schubert, Duitse bruinkool met Annette Birschel en de column van Nelleke Noordervliet.
‘Met een zuiver geweten erken ik vandaag de dag, als staatshoofd, dat er ernstige mensenrechtenschendingen hebben plaatsgevonden op meerdere momenten.' Zo sprak Joko Widodo deze week op de Indonesische televisie. De president verwees naar meerdere misdaden onder het bewind van Soeharto, maar doelde vooral op de massamoord op een half miljoen vermeende communistische rebellen tussen 1965 en 1966. Maar hoe zat het met die massamoord, wat was de rol van de staat, en waarom juist nu deze spijtbetuiging? Historicus en Indonesië-kenner Remco Raben is te gast.
Rambut gondrong pada masa Orde Baru sempat dilarang, Alasannya pemerintah ingin anak muda Indonesia dapat dibentuk menjadi anak yang penurut dan patuh. Selain melarang anak muda berambut gondrong, era pemerintahan Soeharto juga ikut serta membatasi peran mereka di dalam perpolitikan. Anak muda dilarang ikut berbaur dengan politik karena dikhawatirkan dapat mengancam pemerintahan Orde Baru. Catch us on Instagram: @avodkes --- Send in a voice message: https://anchor.fm/absolut-vodkes/message
Indonesia's longest-standing and most prominent "cause lawyering" organisation, the Legal Aid Institute or LBH, was founded in the early days of Soeharto's authoritarian regime in 1970. Cause lawyering broadly refers to using the law to achieve social change. Throughout much of its history, LBH has faced the challenge of pursuing this mission in a context in which victory in the courtroom has been highly unlikely. How have LBH's lawyers pursued social change in circumstances where victory in the courtroom has often been highly unlikely? Did democratisation open new opportunities for cause lawyering? How has LBH responded as the quality of democracy has declined? What does the future hold for LBH and cause lawyering in Indonesia? In this week's Talking Indonesia podcast, Dr Dave McRae chats with Dr Tim Mann, editor of the Indonesia at Melbourne blog and associate director of the Centre for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS). Dr Mann wrote his PhD thesis on LBH and cause lawyering in a fragile democracy. In 2022, the Talking Indonesia podcast is co-hosted by Dr Jemma Purdey from Monash University, Dr Dave McRae from the Centre for Indonesian Law, Islam and Society at the University of Melbourne, Dr Jacqui Baker from Murdoch University, and Tito Ambyo. Look out for a new Talking Indonesia podcast every fortnight. Photo credit: Screenshot from Watchdoc Documentary/Trismana.
Berakhirnya keterpurukan ekonomi di era Soekarno, juga menjadi awal kekuasaan militeristik Orde Baru di bawah Soeharto. Indonesia kemudian beranjak ke sebuah era baru. Soeharto mengambil alih kekuasaan dan mencari-cari jalan untuk menemukan resep ekonomi yang cocok bagi Indonesia. Indonesia akhirnya bergerak menuju sebuah model ekonomi yang sangat dipengaruhi pemikiran kapitalisme Barat. Namun, arah pergerakan ekonomi itu tidak terjadi dengan sendirinya. Disebutkan bahwa ada sekelompok ekonom yang memainkan peranan besar dalam menentukan kebijakan ekonomi negara saat itu. Mereka menggariskan arah pembangunan yang pada akhirnya justru dicap membuat Indonesia menjadi boneka Amerika Serikat. Kelompok inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai para Mafia Berkeley, nama yang merujuk dari almamater sekolah para tokoh-tokohnya, University of California, alias UC Berkeley. Siapa saja para tokoh ekonom tersebut dan benarkah kiprah mereka merugikan Indonesia?
Yuk Diskusi Bersama MASTOPO TALKS --- Support this podcast: https://anchor.fm/totalpolitik/support
Jika Soeharto adalah rajanya, maka Ali Moertopo adalah patihnya. Ali Moertopo adalah Danzou versi Indonesia, ia adalah sang dalang yang membuka jalan dan menyiapkan infrastruktur politik bagi kepemimpinan Soeharto. Bapak Intel Indonesia, sang maestro cipta kondisi, dengarkan cerita kami tentang Ali Moertopo di episode terbaru Maripadabaca. --- Send in a voice message: https://anchor.fm/maripadabaca/message Support this podcast: https://anchor.fm/maripadabaca/support
Pada 19 Mei 1998, Soeharto bertemu 10 cendekiawan muslim dan didesak untuk turun dengan damai. Namun, dia bergeming. Bagaimana pertemuan itu bisa terjadi? Simak selengkapnya di Podcast Sejarah Tirto!
Selama tiga hari pada Mei 1998, Jakarta diguncang huru-hara. Kerusuhan dan penjarahan menjalar di seantero kota. Mengapa hal mengerikan itu bisa terjadi? Simak penjelasannya di Podcast Sejarah Tirto!
Resensi ini merupakan bagian dari Kompetisi Podcast Resensi Buku 3 yang berkolaborasi dengan Inti Megah Swara Indonesia dan 7 penerbit, yaitu Gramedia Pustaka Utama, Penerbit Mizan, Penerbit Haru, Buku Mojok, Kepustakaan Populer Gramedia, Bentang Pustaka, dan GagasMedia. - Follow Podcast Resensi Buku di Instagram: @podcastresensibuku | Follow Podluck Podcast Collective di Instagram: @podluckpodcast | Cek tagar #kompetisiresensi3 di Instagram untuk informasi lebih lanjut. - Penafian: pendapat yang disampaikan oleh peresensi tidak mewakili pandangan tim panitia Kompetisi Podcast Resensi Buku.
Keterlibatan keluarga Menteri Luhut Pandjaitan kian telanjang dalam proyek pembangunan PLTA Kayan, di Kalimantan Utara. Keponakan Menteri Luhut, Heidi Melissa Pandjaitan, tercatat menjadi salah satu direktur di tujuh perusahaan pembangkit. Selain kerabat Luhut, ada pula Garibaldi Thohir, kakak kandung Menteri Erick Thohir. Garibaldi alias Boy adalah pemilik lahan yang disiapkan menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI). Perusahaan pengembang KIHI, punya hubungan dengan dua perusahaan milik Luhut dan Erick. Sedangkan PLTA Kayan disiapkan untuk memasok listrik di KIHI. Nepotisme yang dilarang sejak 1998 nyatanya dipraktikkan kembali. Padahal Ketetapan MPR Nomor XI tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 1998 diterbitkan dengan semangat tak mengulangi kesalahan Orde Baru, era ketika korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi praktik lazim dalam pembangunan ala Soeharto. - - - Baca berbagai laporan mendalam majalah Tempo dan Koran Tempo dengan mengunduh aplikasi Tempo. Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
Durante a Guerra Fria os EUA encomendaram um golpe de Estado na Indonésia por receio de o comunismo se espalhar pelo maior país do Sudeste Asiático. Em troca da supressão da democracia ali pelos próximos 30 anos eles deram... trigo. A gente conta a história surreal do surgimento do macarrão lámen (o nosso miojo) no país como medida de mitigar a fome dos anos 1960 por ali e usar aquele monte de trigo, a ditadura de Suharto, Liem Sioe Liong, George Seldes e a relação incestuosa entre o grande capital e a extrema-direita. BIBLIOGRAFIA Richard Borsuk; Nancy Chng. Liem Sioe Liong's Salim Group: the business pillar of Suharto's Indonesia. Singapore: ISEAS Publishing, 2014, (capítulo 1, p. 1-20; capítulo 14, p. 292-315). George Seldes. Fatos e Fascismo: o grande capital e os grandes lucros com a extrema-direita. São Paulo: Aetia Editorial, 2019. Sukarno: Tahun Vivere Pericoloso. Discurso de 17/08/1965. https://www.youtube.com/watch?v=5lgnVauJqW0 Public Law 480, “Food for Peace”. Middle East Report, 145 (March/April, 1987) https://merip.org/1987/03/public-law-480-better-than-a-bomber/ Mutiara Sri Dewi. Instant Noodle Boom in Indonesia : A Commodity Chain Analysis Study. Master of Arts in Development Studies. International Institute of Social studies, Den Haag, 2016. The Making of a National Food Culture (Part 1 e 2). Indonesia In-Depth, 03.mar.2021 e 24.mar.2021. https://www.indonesiaindepth.com/podcasts/ Howard Dick; Jeremy Mulholland. Old money: Indonesia beyond cronyism. Indonesia at Melbourne. 14.mai.2018, https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/old-money-indonesia-beyond-cronyism/ Om Liem, Soeharto dan Indomie. Viva, 15.jun.2012. https://www.viva.co.id/indepth/sorot/325798-mangkatnya-om-liem-taipan-orde-baru Suharto's Favorite Tycoon Hal Hill. Liem Sioe Liong's business empire survived some of the most turbulent moments of 20th-century Indonesian history. The Wall Street Journal, 05.mar. 2015. https://www.wsj.com/articles/book-review-suhartos-favorite-tycoon-1425578981 DISCOGRAFIA Elvy Sukaesih & Orkes Melayu Sinar Kemala - Reog Ponorogo (1968) Kamar Ruddin Z. - Endar Lela (197~) Hendarso & Neneg Yetti Saripah - Menta Kawin (197?) Ellya Khadam & Hasyim Khan - Perbhet Kepiche (1976) Enny Kusrini - Manuk ono kurungan (196?) Orkes Melayu Chandralela (dengan Ellya Khadam) - Kehidupanku (197?) Darso & Detty Kurnia - Randa Teladan (1978)
Pada tahun 1988 sepekan sebelum sidang umum MPR, Benny Moerdani yang menjabat sebagai Panglima ABRI tiba-tiba dicopot dari jabatannya. Di karenakan Benny mengkritik bisnis anak-anak Soeharto yang telah ikut campur urusan pengadaan alutsista ABRI. Inilah kisah yang kemudian menjadi awal kemunculan Megawati Soekarnoputri, yang tidak bisa dilepaskan dari kisah perjalanan politik Benny Moerdani dan berbagai operasi bawah tanah yang terjadi kala itu. Inilah Risalah Mega dan Awal Jaya Banteng!
Lagi dan lagi, wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali bergulir. Yang terbaru, ide "gila" itu ingin diwujudkan lewat penundaan Pemilu 2024. Tempo menemukan fakta bahwa dukungan penundaan pemilu diorkestrasi oleh orang-orang kepercayaan Jokowi. Menurut editorial Tempo, argumentasi ekonomi dan aspirasi publik di balik gagasan penundaan pemilu terlalu mengada-ngada. Presiden Jokowi tidak boleh tergoda atas usaha yang menyalahi konstitusi ini. Mengasumsikan hanya presiden petahana yang mampu mengatasi persoalan negara merupakan sikap gede rasa dan tak tahu diri. Soal ambisi memperpanjang kekuasaan, kita seharusnya berkaca pada catatan kelam Soekarno dan Soeharto. — Baca berbagai laporan mendalam majalah Tempo dan Koran Tempo dengan mengunduh aplikasi Tempo. Saran & kritik: podcast@tempo.co.id
Ngomong mulu nih bocah bocah
Soeharto membidani kebijakan industri mobil untuk melakukan perakitan di Indonesia sejak 1970-an. Salah satunya melahirkan mobil Toyota Kijang yang populer. Seperti apa kisahnya? Yuk, simak di Podcast Sejarah Tirto!
For transcript and Indonesian language learning content visit our podcast site (https://tinyurl.com/ssstindonesian) Tidak terasa kita sudah memasuki bulan September. Hari Senin pertama bulan September di Amerika Serikat, adalah Hari Buruh, hari libur nasional untuk menghormati pekerja Amerika dan untuk berterima kasih atas sumbangan mereka bagi ekonomi negara. Hari libur hari ini juga merupakan isyarat tidak resmi berakhirnya musim panas di Amerika Serikat. Sebagian besar pekerja mendapat hari libur. Di beberapa daerah, Hari Buruh adalah hari terakhir sebelum tahun-ajaran sekolah dimulai bagi anak-anak. Hari buruh menjadi hari libur resmi tahun 1894 setelah tuntutan serikat-serikat buruh Amerika. Selama puluhan tahun, kota-kota besar menggunakan hari itu untuk melancarkan pawai-pawai besar menghormati para pekerja pabrik anggota serikat buruh. Serikat-serikat buruh mengalami penurunan jumlah anggota secara tetap dalam 30 tahun ini yang bersamaan dengan pertumbuhan teknologi dan globalisasi ekonomi dunia. Namun, hasil perjuangan serikat buruh puluhan tahun lalu masih tetap dipatuhi di sebagian besar tempat-tempat kerja, termasuk lima hari kerja seminggu, asuransi kesehatan, dan cuti dengan mendapat gaji dari majikan. Banyak anggota serikat buruh sekarang bekerja pada pemerintah setempat, negara-bagian, dan pemerintah federal dengan pekerjaan kerah-putih, bukan pekerjaan kasar di pabrik-pabrik di mana gerakan serikat buruh dimulai. Berbeda dengan di Amerika, hari buruh di Indonesia diperingati pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya. Ini sama dengan peringatan hari buruh internasional. Yang pada awalnya, Hari Buruh ini adalah reaksi atas revolusi industri yang terjadi di Inggris dan menyebar ke Amerika Serikat dan Kanada. Di Indonesia, peringatan Hari Buruh (secara sejarah, kita melihat) sempat dilarang, diperbolehkan, hingga dijadikan hari libur nasional. Tapi setiap tahunnya selalu ada demo buruh besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia dan juga di depan Istana Merdeka. Pada era presiden pertama Indonesia, Soekarno, hari buruh sudah dirayakan oleh pemerintah. Dalam satu perayaan hari buruh pada era orde lama itu, Bung Karno menyampaikan kepada para buruh untuk mempertahankan sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat (dalam bahasa Belanda ini disebut politieke toestand). Situasi ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat. Salah satunya adalah pengorganisasian aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya. Seiring berjalannya waktu, pada masa Orde Baru, pada era Presiden Soeharto, Hari Buruh diidentikkan dengan ideologi komunisme yang pada saat itu sangat dilarang keberadaannya. Karena itu, peringatan Hari Buruh ditiadakan. Langkah tersebut juga diteruskan oleh Presiden Soeharto dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja. Selain itu Soeharto menunjuk seorang perwira polisi untuk menjabat sebagai menteri di departemen itu. Serikat buruh, atau dengan nama baru “serikat pekerja” pada era itu tidak independen dan sangat dikontrol oleh pemerintah. Akibatnya kesejahteraan buruh atau “pekerja” tidak lagi menjadi tujuan utama organisasi ini. Pada era reformasi, tuntutan buruh untuk bisa memperjuangkan kesejahteraannya dimulai lagi. Kali ini para buruh didukung oleh pada akademisi dan mahasiswa yang menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan Hari Buruh dan Hari Libur Nasional. Tuntutan ini juga diikuti dengan tuntutan agar pemerintah merevisi Undang-undang Ketenagakerjaan yang termasuk di dalamnya peraturan tentang jaminan sosial.
Though Indomie is one of Indonesian's most iconic brands, its true origin is largely misunderstood. As Indonesians began to accept wheat-based products as part of their daily diet, instant noodles manufacturers flourished--beginning with Supermi. But it was Soeharto's masterplan with establishing Bogasari, a flour milling facility, that paved the way for Liem Sioe Liong (a.k.a Soedono Salim) to come onto the instant noodle scene. With the help of Soeharto and his institutions, Salim wrestled control over the Indomie brand from the inventor and eventually dominate the entire instant noodle market in Indonesia until today. This is the true but unfortunate story of the original founder of Indomie and how he steadily, but unwillingly, disappeared from history. | Stay connected with us through our Instagram and Twitter: @Indepthcreates or write to us at info@indepthcreative.com| This episode is produced by In-depth Creative | All music licensed | Visit : www.indepthcreative.com or Shawn's LinkedIn page: http://www.linkedin.com/in/shawn-corrigan/ | Send us your feedback! Email: info@indepthcreative.com | Twitter: @Indepthcreates | Instagram: @Indepthcreates
One of the major changes to Indonesia following the fall of Soeharto and Reformasi was decentralization and a shift to a direct ballot election system. The aim? To ensure that local legislatures were not simply a rubber stamp of Jakarta. In recent years though, we have seen a strong push to return to a similar system used under the New Order and ultimately return more power to the central government. Leading this movement are the key political parties: PDIP, Golkar and Gerindra and with the bigger goal of amending election laws in and even the Constitution. They aim to have the changes completed by 2024. What are the driving forces behind this movement?We sit with Seth Soderborg, a PhD candidate at the Department of Government at Harvard University, to discuss why parties are pushing to return to the old system, what are the driving forces behind it and how might it impact Indonesian politics going forward.| This episode is produced by In-depth Creative | All music licensed | Read the text version of this episode: www.indepthcreative.com or through Shawn's LinkedIn page: http://www.linkedin.com/in/shawn-corrigan/ | Send us your feedback! Email: info@indepthcreative.com | Twitter: @Indepthcreates | Instagram: @Indepthcreates
This is a special live event edition of Indonesia In-depth. Indonesia began its transition to democracy in 1998 amid a simultaneous political, social and economic crisis. While the country has made tremendous progress with important economic and political reforms, Indonesia continues to remain in that democratic transition today. At this Indonesinist event held by the Indonesian Ministry of Foreign Affairs October 14-16, 2019, (Ret.) Army Lt. Gen. Agus Widjojo, Dr. Michael Vatikiotis, Dr. Siswo Pramono and Shawn Corrigan discuss Indonesia's path to democracy and the challenges that remain. Special thanks to the Ministry of Foreign Affairs for inviting us and to Lt. Gen Agus Widjojo, Dr. Michael Vatikiotis, Dr. Siswo Pramono and Shawn Corrigan. Podcast host: Shawn Corrigan // Read text version of this episode: www.indonesiaindepth.com // Email : info@indonesiaindepth.com // Twitter: @IndoIndepth // LinkedIn: http://www.linkedin.com/in/shawn-corrigan/ // We are also available on Spotify, iTunes, Soundcloud, Google Music and other podcast players! // All music licensed.
Some people, primarily among the international community, question whether the 2019 Indonesian elections will be free and fair, void of voter irregularities and/or violence. But are these concerns well-grounded? Do we need to be worried? Shawn believes that these concerns are reasonable but unfounded. We take a look at Indonesia's recent history in 1998 and appreciate how far the country has come in terms of its democratic elections. In addition, we will discuss whether the new shift to a concurrent election system will cause major disruptions during the election process itself. | Episode Details: 0.05 - 3.35: Concerns from the international community regarding the Indonesian election | 3.40 - 5.38: History of Indonesia's democratic reform in 1998; Consequences of Soeharto's downfall; Military's role in parliament | 6.05 - 7.43: Four Presidents in four years; Democracy and instability | 7.54 - 11.30: The return of a free and fair general election in 1999; Military withdrawal from parliament; Shift from centralised government to regional autonomy | 11.45 - 14.57: Uncertainties after five years of instability; Some longing for the old days of Soeharto| 14.58 - 15.25: Indonesia's first directly-elected presidential, Susilo Bambang Yudhoyono; The first democratically-elected presidential transition in 2014| 15.27 - 18.04: Putting Indonesia's remarkable democratic progress into context; Response to the concerns of the 2019 election| 18.25 - 21.33: Potential issues with the new simultaneous election | 21.35 - 22.33: Closing | Podcast hosts: Shawn Corrigan & Tanita| Read text version of this episode: www.indonesiaindepth.com| Say hi to us! Email: info@indonesiaindepth.com| Twitter: @IndoIndepth | LinkedIn: http://www.linkedin.com/in/shawn-corrigan/| We are also available on Spotify, iTunes, Soundcloud, Google Music and on Amazon's Alexa!